Momen ini, pantas rasanya direbut oleh pedagang, terutama yang dadakan. Diakui pemerhati ekonomi UNP, Yuliandri momen ini menjadi peluang bagi perorangan serta rumah tangga untuk ikut berlomba menambah pendapatan karena pasar memang sedang menggandrunginya. Musim buah, katanya, ikut memutar roda perekonomian Sumbar, kendati hal ini ia yakini tak berpengaruh besar.
“Seberapa besarnya pengaruh tentu harus kita hitung dulu. Namun tentu saja berpengaruh karena sebagian besar masyarakat kita memiliki batangnya dan bisa memanfaatkannya menjadi ladang pencarian,” ujarnya.
Baca Juga : Prabowo dan Habib Rizieq
Menurut beberapa penjual yang ditemui Haluan di Pasar Raya Padang, menjual buah seperti rambutan saat ini cukup menambah penghasilannya. Dengan modal Rp300 ribu perbatang, Sabri (40) bisa mendapatkan keuntungan lumayan.
“Rambutan manis ini langsung saya beli satu pohon seharga Rp300.000. Habis tidak habis itu resiko saya. Tapi jarang yang tidak habis dan alhamdulillah sampai beberapa hari semua laku terjual dengan untung 50 persen,” aku bapak empat orang anak ini yang mengaku membeli rambutan di kawasan Banuaran, Padang.
Baca Juga : Catatan Akhir Tahun (4): Selamat Tinggal Tahun Kelam
Ia sendiri sempat merasakan manisnya hasil penjualan rambutan saat buah yang tergolong ke dalam suku lerak-lerakan atau Sapindaceae itu belum booming di pasaran. Saat itu, katanya, ia pernah menjual rambutan dengan harga Rp12 ribu per kilogram. Namun, saat ini buah rambutan sudah datang dari berbagai daerah penghasil rambutan. Otomatis harganya juga ikut langsung turun sekitar Rp2.000 per harinya.
“Saat ini saya menjual rambutan sekitar Rp4.000 per kg. Itupun sudah disorak-sorakkan di pasar ini,” lanjutnya.
Baca Juga : Catatan Akhir Tahun (2): Kita Sungguh Perlu Bersatu
Lain lagi dengan Yanti (35), penjual durian. Pedagang yang cenderung nomaden saat menjajakan durian tak punya tempat khusus untuk berjualan. Si penjual durian dadakan yang memiliki batang durian di kampungnya di Pesisir Selatan mengaku mengambil kesempatan dengan menjual di beberapa tempat, mulai di pinggir jalan Pantai Padang dan kadang di pinggir jalan lainnya.
Dengan pola seperti ini, ia mampu menjual durian asal kampungnya itu hingga berpuluh-puluh jumlahnya dengan harga bervariasi, mulai dari Rp 5 ribu hingga Rp50 ribu perbuahnya.
Baca Juga : Catatan Akhir Tahun(1) : Ekonomi Menyedihkan
Sementara, Irma (55) pedagang duku tak jauh dari pusat Kota Padang harus berjuang keras menjual buah yang populer berasal dari Palembang ini karena pasokannya makin melimpah di pasaran. “Tiga hari yang lalu harganya masih Rp15.000 per kg. Saat ini sudah mulai banjir dan harganya berangsur turun menjadi Rp10.000 per kg. Bisa saja paling bawah harganya mencapai Rp8.000 per kg nanti jika makin banjir,” paparnya.
Hanya saja, untuk mengonsumsi buah yang semakin melimpah di pasaran ini juga perlu diperhatikan cara menikmatinya. Kepala Dinas Kesehatan Kota Padang Eka Lusti pada Haluan, mengatakan harus berhati-hati dalam mengkonsumsi buah tersebut.
“Sebenarnya bukan buahnya yang berbahaya namun cara memakannya. Sebagian kita banyak yang memakan dengan cara yang salah seperti membuka kulitnya dengan mulut seperti rambutan dan lansek. Karena buah tersebut banyak mengandung kuman yang mendatangkan penyakit,” terangnya.
Sayang, pesta sesaat ini tak dinikmati penjual bengkuang, buah yang notabene diklaim sebagai buahnya Kota Padang itu. Jika pedagang buah seperti di atas dengan mudahnya kita temukan di berbagai sudut kota, tak demikian dengan bengkuang. Hanya ada beberapa titik di Padang terlihat kumpulan orang yang berdagang buah ini, mulai dari Air Tawar depan kampus UNP, batas Kota Padang jelang dan selepas Fly Over bandara serta perempatan By Pass Lubeg.
Pamor buah yang katanya made in Padang itu tampak mulai redup sejak Terminal Lintas Andalas “tergusur” dari pusat kota ke TRB Aiepacah yang kini sudah disulap pula jadi pusat pemerintahan Kota Padang. Pasar yang semakin “sempit” sejalan dengan semakin mengecilnya luas lahan yang menanam buah yang memiliki efek pendingin karena mengandung kadar air 86-90%.
Namun, pejabat Pemko Padang beberapa waktu lalu pernah mengklaim bahwa luas lahan produksi bengkuang masih stabil dan mencapai 23 hektar, tanpa merinci dimana lokasinya. Dari penelusuran di “sentra” baru penjualan Bengkuang di depan Kampus UNP, para penjual masih bisa mendapatkan hasil buah tersebut dari ladang di Padang.
“Pelanggan saya lebih suka bengkuang Padang daripada dari daerah lain. Bengkuang padang lebih manis dan lezat dibandingkan bengkuang luar Padang. Kecil tapi manis. Bengkuang dari daerah lain ukurannya besar, tapi hambar dan terlalu banyak air,” tutur Zakaria.
Berbeda dengan Udin, penjual bengkuang di Jalan Bypass KM 8. Pria berusia 56 tahun yang mengaku sudah 15 tahun berjualan bengkuang ini mengaku mendapatkan bengkuang dari toke karena sulit menemukan petani bengkuang di Padang. Ia memperkirakan bengkuang yang ia beli dari touke itu berasal dari Lubuk Aluang.
Dikutip dari wikipedia, Bengkuang atau bengkoang (Pachyrhizus erosus) dikenal dari umbi (cormus) putihnya yang bisa dimakan sebagai komponen rujak dan asinan atau dijadikan masker untuk menyegarkan wajah dan memutihkan kulit. Tumbuhan yang berasal dari Amerika tropis ini termasuk dalam suku polong-polongan atau Fabaceae. Di tempat asalnya, tumbuhan ini dikenal sebagai xicama atau jícama.
Pemko Padang sendiri tak kehabisan akal untuk coba mempertahankan trade mark kotanya, Padang sebagai Kota Bengkuang. April 2015 lalu, digelar lomba membuat jus bengkuang. Tapi, tetap saja upaya itu belum mampu mendongkrak dan mengembalikan bengkuang ke masa jayanya. Semoga, slogan Padang Kota Bengkuang yang selama ini coba dipertahankan eksistensinya tak berubah menjadi Padang Kota Durian, atau Rambutan, atau Duku. (*)
Laporan :
WINDA & RAKHMATUL