Penganan yang dibuat dari adonan tepung sagu dan pisang itu, dikenal dengan rasa dan aromanya yang khas. Pasalnya, makanan ini disajikan terbungkus oleh daun pisang yang warnanya coklat kehitam-hitaman. Karena sebelumnya lompong sagu harus dipanggang hingga matang.
Makanan ini dulunya sangat dikenal dan digemari masyarakat Minang. Lompong sering disajikan dalam berbagai kesempatan dan dimakan dalam kondisi masih hangat. Sebagai bukti kepopuleran lompong sagu dan pernah berada di puncak kejayaannya, maka dibuat sebuah lagu dengan judul Lompong Sagu. Lagu itu dinyanyikan dengan penuh penghayatan oleh penyanyi kawakan Elly Kasim.
Baca Juga : Ingat! Bukan Urusan Sepele, Tapi Sering Dianggap Sepele
Meski dulu begitu dikenal hingga dituangkan dalam bentuk lirik lagu, seiring perkembangan zaman, kini lompong sagu mulai tak diminati. Bahkan untuk mendapatkannya lumayan sulit, hanya dijual pada lokasi tertentu saja. Karena juga tak banyak orang yang mau berdagang lompong sagu.
Di Kota Padang saja misalnya, mereka yang masih menjual penganan satu ini hampir bisa dihitung dengan jari. Salah satu tempat masih bertahan menjual makanan ini adalah, usaha Lompong Sagu Nizar yang terletak di Jalan Gunung Pangilun, Padang.
Baca Juga : Awas! Inilah Dosa Jariyah yang Terus Mengalir
Lompong Sagu Nizar diambilkan dari nama pemiliknya, yaitu Nizar (60). Sekitar 20 tahun sudah, ibu lima anak ini setia dengan pekerjaannya menjual lompong sagu. Bahkan saat makanan tradisional ini hampir terlupakan dan digantikan dengan beragam jenis makanan cepat saji yang menggugah selera, dia tetap bertahan untuk menjual makanan yang didalamnya diisikan gula merah tersebut.
Kakak dari Nizar, Bani yang saat ditemui tengah menggantikan Nizar berjualan karena sedang sakit, mengatakan, adiknya masih bertahan dan setia dengan profesinya sebagai pedagang lompong sagu.
Baca Juga : Kolonel TNI Mati Dibunuh Rekan Sendiri Cuma Gara-gara Politik
Beberapa alasan yang membuat adiknya bertahan menjajakan lompong sagu, menurut Bani adalah untuk menyambung hidup. Agar hidup ia dan anak-anaknya tetap berlanjut, dan tanpa harus meminta belas kasih orang lain. Karena hanya itu pula keterampilan yang dimilikinya. Saban tahun Nizar tanpa rasa letih menjalani hari-harinya sebagai pedagang lompong sagu.
“Suaminya sudah tak ada saat anak-anaknya masih kecil. Kalau tidak berjualan akan dikasih makan apa keponakan saya itu. Karena dia hanya pandai membuat lompong sagu, jadinya Nizar menjadikan ini sebagai mata pencaharian,” kata Bani menceritakan tentang kehidupan adiknya pada Haluan.
Baca Juga : Apakah Malaikat akan Meninggal Layaknya Manusia?
Sebesar keyakinan Nizar untuk membesarkan anak-anaknya sepeninggal sang suami, sepertinya sebesar itu pula lah Tuhan membukakan pintu rezeki pada wanita yang berkampung halaman di Solok tersebut.
Melanjutkan Tradisi
Meski menjual makanan yang notabene sudah tidak begitu dikenal itu, dari hasil berjualan lompong itu, Nizar tetap bisa melanjutkan hidupnya dan menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan mereka bisa membangun rumah untuk tinggal.
Menurut Bani, untuk berjualan lompong sagu dibutuhkan modal sedikitnya sekitar Rp200 ribu. Dari hasil penjualannya sehari, Nizar bisa membawa pulang sekitar Rp350 ribu.
“Yang membeli tak hanya dari Padang saja, ada yang datang dari luar Padang. Bagi yang merasa makanan ini sesuai selera, tak jarang mereka membeli dalam jumlah banyak. Kemarin saja, ada yang memesan satu karton untuk di bawa ke Pakanbaru. Sebelumnya hal seperti itu juga sering terjadi, pembeli memesan untuk dibawa ke luar daerah,” papar Bani.
Ditambahkan Bani, alasan lain yang juga membuat adiknya bertahan berjualan lompong sagu selama bertahun-tahun adalah, karena ia sadar penganan satu ini sudah tak banyak lagi tersedia atau dijual dipasaran. Dulu waktu dia dan Nizar kecil, kata Bani, selain nasi, sang ibu sering membuat makanan tradisonal seperti lompong sagu untuk dimakan oleh anak-anaknya.
“Waktu kami kecil itu, pulang main kami sering makan lompong sagu buatan ibu sebagai pengganjal perut. Tapi sayang, hal seperti itu sekarang sudah jarang dilakukan orang-orang. Jika kami yang tua-tua ini masih bisa mengenalkan lompong sagu melalui berjualan makanan ini, kenapa tidak. Dengan begitu anak-anak sekarang kan jadi tahu juga makanan apa yang biasa dimakan nenek-nenek mereka saat kecil dulu,” kata Bani dengan tersenyum.
Tentang usaha Lompong Sagu Nizar, menurut Bani, tempat berdagang yang dirintis adiknya tersebut telah dibuka dari pukul 14.00 WIB hingga usai magrib. Selain lompong sagu, di sana juga tersedia atau dijual palai bada. Lompong sagu harganya Rp2.000 perbungkus, dan palai bada dijual seharga Rp6.000 perbungkus.
“Kami berjualan setiap hari. Seperti sekarang saja, misalnya biarpun dia sedang sakit, dia minta saya untuk menggantikan,” pungkas Bani. (***)
Laporan:
LENI MARLINA