Di samping sebagai makhluk sosial manusia juga merupakan makhluk tuhan yang dianugerahi nafsu yang mendorongnya untuk bertindak . Nafsu inilah yang dapat menjadi sebuah bencana apabila tidak dikendalikan. Oleh karena itu benar adanya dengan apa yang dikatakan oleh Hobbes “hommo homini lupus bellum contra omnes” bahwa manusia ibarat serigala yang ganas dan saling memangsa satu dan yang lainnya.
Mengatasi problema manusia yang nantinya sikut menyikut kepentingan dengan manusia lainnya maka dibentuklah sebuah instrumen yang lazim dikenal dengan sebutan hukum. Dengan hukum manusia memiliki keharusan untuk saling menghormati dan menjaga hak hak manusia lainnya serta melakukan kewajiban kewajiban demi terciptanya keadilan dan ketentraman hidup bermasyarakat. Hukum juga diharapkan dapat mengakomodasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa yang akan datang melalui pembentukan instrumen hukum baik berupa peraturan perundang-undangan maupun kelembagaannya. Hukum dianggap sebagai a tools social of engeneering atau alat rekayasa sosial, oleh karena itu suatu keniscayaan kiranya di dalam masyarakat ada hukum (ubi societes ibi ius).
Hukum merupakan “benda mati” jika hanya dibiarkan tergeletak begitu saja tanpa dipatuhi dan dijalankan, oleh karena itu perlu adanya upaya penegakan hukum. Penegakkan hukum sejatinya tak bisa disandarkan kepada aparat penegak hukum saja atau kepada masyarakat saja. Instrumen hukum berupa peraturan perundang undangan yang demokratis dan aspiratif, sarana dan prasana , moralitas aparat penegak hukum serta kesadaran hukum masyarakat merupakan point penting dalam sistem hukum untuk mewujudkan penegakan hukum. Penegakan hukum diperuntukan untuk mewujudkan kepastian hukum dan menjamin rasa keadilan masyarakat. Keadilan merupakan harga mati yang tak bisa ditawar terlebih dinegeri yang telah melakukan reformasi sejak 17 tahun silam.
Potret Buram Keadilan
Sungguh miris jika kita bandingkan apa yang menjadi cita hukum dengan kondisi real di masyarakat saat ini. Keadilan merupakan barang mewah yang hanya bisa dicicipi oleh segelintir kalangan. Pernyataan tersebut tidak hanya sekedar isap jempol belaka. Miris kita menyaksikan saat keadilan dijauhkan dari masyarakat yang sangat membutuhkannya. Kasus Faisal Budri dua kakak beradik yang tewas pasca disiksa oleh aparat kepolisian di tahanan Kepolisian Sektor (polsek) Sijunjung pada akhir tahun 2011 merupakan tamparan keras bagi kita penyuara keadilan. Betapa tidak saat Pengadilan Negeri I B Sijunjung Sumatera Barat menyatakan bahwa kematian kakak beradik Faisal Budri adalah penganiayaan bukanlah penyiksaan. Kekecewaan bertambah ketika amar putusan terhadap pelaku yang membawa kakak beradik tersebut ke liang lahat hanya dihukum beberapa tahun saja dan banyak kalangan pegiat hak asasi manusia menyayangkan putusan tersebut. Suatu putusan yang sangat dipertanyakan karena yang melakukannya adalah aparat penegak hukum yang seharusnya masuk dalam katagori “penyiksaan”. Jelas ini menyalahkan jargon supremasi hukum dalam marzab rule of law.
Potret buram keadilan di negri ini tidak hanya terjadi di Sijunjung saja. 20 November 2015 lalu Iwan Mulyadi pemuda yang ditembak polisi sektor Kinali Pasaman Barat yang hingga kini lumpuh menyurati Presiden Joko Widodo untuk meminta pertanggungjawaban atas kelumpuhan seumur hidup yang harus dipikulnya. Iwan dalam surat kecilnya tersebut meminta Presiden dan Polri mengganti kerugian atas dirinya. Padahal ganti kerugian yang dituntut Iwan tersebut merupakan perintah dari Mahkamah Agung dan pemerintah seharusnya tak berbelit atas hak yang seharusnya diperoleh Iwan.
Simanjuntak dalam artikelnya yang berjudul Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum dan Kontrak Franchise (2011), mengartikan perlindungan hukum sebagai segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warganya agar hak-haknya sebagai seorang warga negara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Sungguh pilu negara hukum ini. Jangan sampai hukum yang mulia sebagai junjungan, diinjak sendiri oleh mereka yang mengaku penegak keadilan. Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan itu ada untuk rakyat, bukan untuk melindungi mereka sendiri. Asas persamaan di depan hukum itu dipertanyakan lagi. Berkaca dari pengalaman diatas , penulis teringat kalimat Andi Hamzah bahwa hukum tidak mengenal anak atau cucu, kawan atau lawan; harus ditegakkan kepada siapa pun dengan adil (Andi hamzah : 2011).
Berbagai permasalahan terhadap kesenjangan keadilan negeri ini tentu tak bisa didiamkan begitu saja. Friedmann berpendapat ada tiga faktor kunci penegakan hukum yang salah satunya adalah aparat penegak hukum. Jika kita cermati cenderung penegakan hukum untuk mencapai keadilan tersandung pada moralitas aparat penegak hukum yang tidak memiliki integritas terhadap penegakan hukum sehingga wajar saja jika kita acap kali melihat kesenjangan akses keadilan terlebih lagi bagi masyarakat menengah kebawah. Pekerjaan berat bagi pemerintah untuk mendisiplinkan dan menanamkan nilai nilai yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat kepada aparat penegak hukum.
“Fiat Justitia Ruat Coelum” , Tegakkan keadilan meskipun langit akan runtuh begitu kurang lebih ucap seorang Gubernur Romawi Lucius Calpurnius Piso Caesoninus. Adagium tersebut menggambarkan kepada kita bahwa bagaimanapun kondisi dan keadaannya , hukum tetaplah hukum dan tidak ada yang bisa mengenyampingkan hukum tersebut. Jangan sampai hukum dan keadilan hanya berdiri gagah dinegri khayalan. (*)
WIDYA ARZIL RIGITA
(Wakil Ketua Lembaga Advokasi Mahasiswa dan
Pengkajian Kemasyarakatan (LAM&PK) Fakultas Hukum Universitas Andalas)