Siapkah kita (Indonesia) mengarunginya? Siap tidak siap, nyata-nyatanya dayung sudah diayun jauh-jauh hari. Upaya untuk mewujudkan aliran bebas barang telah dimulai dari ASEAN Free Trade Area (AFTA). AFTA yang berlaku sejak 1993, telah menghapus 99,65% dari seluruh tariff lines di bawah skema Common Effective Preferential Tariff (CEPTF) AFTA untuk ASEAN 6 (Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand) dan pengurangan sekitar 98,96% tarif menjadi antara 0-5% untuk Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam atau yang dikenal dengan terminologi CLMV. Meskipun demikian masing-masing negara ASEAN diperbolehkan untuk tetap mempertahankan tarifnya pada beberapa produk yang tergolong dalam Sensitive List (SL), High Sensitive List (HSL), dan General Exception List (GEL).
Upaya tersebut dilanjutkan dengan penandatanganan ASEAN Agreement on Custom pada tahun 1997 dan ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) pada tahun 2009. ATIGA mengintegrasikan semua inisiatif ASEAN yang berkaitan dengan perdagangan barang ke dalam suatu kerangka komprehensif, serta menjamin sinergi dan konsistensi di antara berbagai inisiatif. Indonesia telah meratifikasi ATIGA melalui Perpres No. 2/2010.
Itu baru aliran bebas barang di kawasan, di sektor jasa, yang juga memiliki peran strategis dalam perekonomian negara-negara anggota ASEAN (mengingat sekitar 40%-50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara anggota ASEAN disumbang oleh sektor ini)—dalam upaya meningkatkan kerja sama ekonomi melalui liberalisasi perdagangan di sektor jasa, negara anggota ASEAN telah menyepakati dan mengesahkan ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) pada tanggal 15 Desember 1995 di Bangkok, Thailand.
Untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut, telah dibentuk Coordinating Committee on Services (CCS) yang memiliki tugas menyusun modalitas untuk mengelola negosiasi liberalisasi jasa dalam kerangka AFAS yang mencakup 8 (delapan) sektor, yaitu: Jasa Angkutan Udara dan Laut, Jasa Bisnis, Jasa Konstruksi, Jasa Telekomunikasi, Jasa Pariwisata, Jasa Keuangan, Jasa Kesehatan dan Jasa Logistik. Indonesia mendorong liberalisasi sektor jasa melalui Tim Koordinator Bidang Jasa (TKBJ) di bawah Kementerian Perdagangan yang telah dibentuk melalui Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 288/M-DAG/KEP/3/2010 tanggal 5 Maret 2010.
Sejak ditandatanganinya AFAS, ASEAN telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam upaya liberalisasi sektor jasa. Sejumlah paket komitmen AFAS telah berhasil disepakati oleh seluruh Negara Anggota ASEAN, dan berdasarkan perkembangan terakhir ASEAN telah menyelesaikan negosiasi AFAS Paket ke-9 yang ditandatangani secara ad referendum pada AEM ke-46, bulan Agustus 2014. Hingga AFAS - 9, Indonesia telah memberikan komitmen sebanyak 97 subsektor dengan rincian: 29 sektor prioritas, 7 subsektor logistik, dan 61 subsektor lainnya. Untuk memenuhi target AFAS Paket ke-10, Indonesia memerlukan tambahan 31 subsektor.
Sebagai peningkatan AFAS, pada akhir kuartal 2013 mulai dirumuskan ASEAN Trade in Services Agreement (ATISA) sebagai perjanjian yang komprehensif dan berpandangan kedepan untuk memperluas dan memperdalam integrasi jasa ASEAN sekaligus integrasi ASEAN ke rantai produksi global. Selain itu, dalam rangka perwujudan MEA 2016, ASEAN juga telah menetapkan 5 (lima) sektor jasa prioritas dari 12 sektor prioritas integrasi barang dan jasa yang akan diliberalisasi menjelang pembentukan MEA 2016, yaitu: Jasa Kesehatan, Jasa Pariwisata, e-ASEAN, Jasa Logistik dan Jasa Transportasi Udara.
Belum lagi jika bicara Aliran Bebas Investasi, Modal dan tenaga kerja terampil. Melalui ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA) yang mulai berlaku tanggal 29 Maret 2012, ASEAN mencoba mewujudkan elemen-elemen tersebut di atas. ACIA bertujuan untuk menciptakan lingkungan investasi di ASEAN yang bebas, fasilitatif, transparan, dan kompetitif. Empat pilar utama ACIA, yaitu liberalisasi, proteksi, promosi, dan fasilitasi. ACIA merupakan hasil proliferasi dari ASEAN Investment Guarantee Agreement (ASEAN IGA) dan the Framework Agreement on ASEAN Investment Area (AIA Framework Agreement).
Dalam menapaki Masyarakat Ekonomi ASEAN kita sudah memasuki hitungan ke 90 x 45 : 34% + 50 ? 0,42 ] : [ ( 6,6 x 10?34 )( 3 x 108 )/( 628 x 10?9 ) ] = ( 0,42 ) : (3,15 x 10?19 ). Rasanya perhitungan kita bukan 1+1+2+3 lagi. Barangkali sosialisasinya saja yang agak kurang.
Bahkan MEA ini telah melebarkan sayap dengan berlangsungnya Kerja Sama Ekonomi ASEAN +1 (dengan Tiongkok, India, Jepang, Korea, Australia, New Zeland dan lain sebaginya) juga pengembangan FTA++ berupa integrasi ekonomi kawasan melalui wacana pembentukan East Asia Free Trade Area (EAFTA) atau Comprehensive Economic Partnership for East Asia (CEPEA).
Pertanyaan yang berkisar pada apakah kita hanya akan dilihat sebagai “pasar” besar bagi produk-produk dan tenaga kerja dari negeri tetangga? Bisa jadi, Indonesia memang merupakan potensi pasar terbesar sekaligus pemilik sumber daya manusia terbanyak di ASEAN, yakni 250 juta orang atau 40% dari penduduk ASEAN. Tentu ada peluang, tantangan dan resiko.
Bagi Indonesia sendiri, MEA dapat menciptakan iklim yang mendukung masuknya Foreign Direct Investment (FDI) yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi melalui perkembangan teknologi, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya manusia (human capital) dan akses yang lebih mudah kepada pasar dunia. Di sisi lain, muncul tantangan baru bagi Indonesia berupa permasalahan homogenitas komoditas yang diperjualbelikan, contohnya untuk komoditas pertanian, karet, produk kayu, tekstil, dan barang elektronik.
Namun perlu diingat, MEA bukanlah arena zero sum game—yang menggambarkan sebuah proses dimana jumlah keuntungan dan kerugian dari seluruh peserta adalah nol. Keuntungan yang didapatkan oleh seorang peserta berasal dari kerugian peserta-peserta yang lain. Dan juga sebaliknya: kerugian dari seorang peserta menjadi keuntungan bagi peserta-peserta yang lain. Tentu konteks MEA mesti merujuk pada tujuan ASEAN dalam meningkatkan kerjasama secara aktif dan saling membantu dalam hal-hal yang menjadi kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, teknik, ilmu pengetahuan, dan administrasi. Perkembangannya akan dievaluasi dalam KTT ASEAN saban tahun. ***
ALEK KARCI KURNIAWAN
(Analis Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)