Kata menggurui lazim digunakan oleh masyarakat kita dalam petuturan sehari-hari. Walau menggurui terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), namun lema tersebut perlu ditinjau ulang.
Seperti yang kita ketahui, menggurui berasal dari kata dasar guru. Dalam KBBI Pusat Bahasa Edisi Keempat, menggurui berarti menjadikan dirinya sebagai guru (dengan mengajari, menasihati, dan sebagainya). Contoh kalimat yang dituliskan KBBI terkait kata tersebut: saudara tidak perlu menggurui kami.
Apabila kita melihat sepintas lalu, tidak ada yang salah dengan kata menggurui. Namun, ada yang terasa janggal jika kita memandang menggurui dari unsur kata pembentuknya. Guru merupakan kata benda, sementara menggurui adalah kata kerja. Dalam KBBI, guru berarti orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Dari definisi itu, guru berarti suatu profesi, lebih dari sekadar pekerjaan. Dalam konteks profesi atau pekerjaan ini, janggal rasanya jika kata benda menjadi kata kerja. Kejanggalan itu terlihat apabila guru diganti dengan dosen. Meski guru dan dosen memiliki tugas yang sama, yakni mengajar, (bedanya guru mengajar di sekolah, sementara dosen mengajar di perguruan tinggi), namun selama ini belum ada orang yang mengatakan mendoseni.
Memang, pengguna kata menggurui mungkin tidak merujuk kata itu dari definisi guru sebagai profesi, tapi diambil dari pengertian guru secara luas. Namun demikian, tetap saja terasa keliru apabila menggurui dijadikan kata kerja. Padahal, banyak kata yang bisa menggatikannya, antara lain, mengajari, menasihati, mendidik, dan memberikan ilmu.
Mari kita uji keanehan kata menggurui. Bisakah semua profesi atau pekerjaan menjadi kata kerja jika diberi imbuhan? Bisakah dokter menjadi mendokteri, polisi menjadi mempolisikan, dan wartawan menjadi mewartawani? Jika pola perubahan kata benda tadi bisa diterima menjadi kata kerja seperti yang terjadi pada kasus menggurui, maka seharusnya mendokteri bisa diartikan sebagai mengobati, karena pekerjaan dokter adalah mengobati. Lalu, mempolisikan dapat dimaknai sebagai menangkap, sebab salah satu tugas polisi adalah menangkap pelanggar undang-undang. Begitu juga dengan mewartawankan, yang seharusnya bisa didefinisikan sebagai memberitakan. Akan tetapi, kenyataannya tidak begitu. Mendokteri, mempolisikan, dan mewartawankan adalah bentuk salah kaprah berbahasa, seperti halnya menggurui.
Mempolisikan
Kata Mempolisikan jamak dipakai oleh penutur bahasa Indonesia, termasuk wartawan. Di media massa, kata mempolisikan (kata kerja aktif) atau dipolisikan (kata kerja pasif), biasanya dipakai dalam berita yang berkaitan dengan masalah hukum. Apabila seseorang melaporkan lawannya ke polisi, maka wartawan yang meliput bidang hukum dan kriminal memilih diksi mempolisikan saat menulis berita pelaporan itu.
Saya tidak tahu apakah kata mempolisikan adalah bahasa wartawan atau bahasa polisi. Jika mempolisikan adalah bahasa polisi, lalu wartawan mengutipnya, maka kacaulah bahasa dalam berita surat kabar, sebab berbahasa yang benar memang bukan bidang polisi, sedangkan wartawan adalah pihak yang seharusnya memahami bahasa, setidaknya daripada polisi. Sebaliknya, apabila mempolisikan adalah bahasa wartawan, itu menunjukkan kacaunya pengetahuan wartawan yang bersangkutan terhadap bahasa sehingga menggunakan saja kata yang sudah umum dipakai, tanpa merasa perlu mencari tahu apakah kata tersebut benar atau salah, terdapat dalam kamus atau tidak. Mengenai penggunaan kata-kata yang berbau bahasa polisi, kebanyakan wartawan menggunakan istilah dari polisi “bulat-bulat” tanpa mesti berpikir, apalagi mengkritiknya sebelum menggunakannya, walau bahasa itu menabrak logika bahasa.
Kembali ke persoalan makna mempolisikan. Jika kita mengurai kata mempolisikan, maka arti yang kita temukan adalah menjadikan polisi. Makna itu saya simpulkan dari pengertian menggurui dalam KBBI, bahwa menggurui berarti menjadikan dirinya sebagai guru. Kalau akhiran –i itu diganti dengan –kan, maka menggurukan orang lain berarti menjadikan orang tersebut sebagai guru. Jadi, apabila seseorang mempolisikan lawannya kepada polisi, itu berarti ia tidak melaporkan atau mengadukan lawannya kepada polisi, tapi membuat lawannya menjadi polisi.
Menyopir
Contoh kasus yang sama dengan kata menggurui dan mempolisikan adalah kata menyopir. Semua orang sudah tahu bahwa menyopir yang berasal dari kata sopir, berarti mengendarai atau mengemudikan mobil.
Menyopir diakui oleh KBBI sebagai kata kerja. Ada dua kata kerja yang diambil oleh KBBI dari kata sopir, yakni menyopir yang berarti mengemudikan mobil, dan menyopiri yang berarti menjadi sopir pada (mobil dan sebagainya); mengendarai; mengemudikan; menjalankan. Pada dua kata kerja tersebut, KBBI mengkhususkan kata kerja menyopir hanya untuk mobil. Padahal, pada kata dasarnya, KBBI menyebutkan bahwa sopir tidak hanya pengemudi mobil. Menurut KBBI, sopir adalah juga pengemudi mobil (bemo dan sebagainya). KBBI mencontohkan pemakaian kata sopir juga untuk becak, yakni pengemudi becak atau tukang becak.
Saya tidak ingin mengomentari perihal tidak konsistennya KBBI dalam memberikan arti sopir pada kata dasar sopir dan menyopir dan menyopiri. Saya ingin mengomentari perihal kata dasar sopir yang dijadikan menyopir dan menyopiri oleh KBBI. Hal yang terjadi pada kata menyopir, juga terjadi pada kata memiloti. Pilot, yang dalam KBBI berarti pengemudi pesawat terbang; penerbang, menjadi memiloti sebagai kata turunan dari pilot. Menurut KBBI, memiloti berarti menjadi pilot pada (dari); mengemudikan (pesawat terbang).
Kalau sopir bisa menjadi menyopir dan pilot menjadi memiloti, seharusnya masinis (pengemudi lokomotif) juga bisa menjadi memasinis atau memasinisi, kusir (orang yang menjalankan kereta kuda seperti andong dan dokar) menjadi mengandong atau mendokar, nahkoda (pengemudi kapal laut) menjadi menahkodai dan setiap pekerjaan bisa menjadi kata kerja yang kata dasarnya diambil berdasarkan penyebutan pekerjaan tersebut. Akan tetapi, dalam KBBI tidak ada kata memasinis, mengandong atau mendokar dan menahkodai.
Jadi, menggurui, mempolisikan, menyopir, dan memiloti adalah kata benda yang dipaksa menjadi kata kerja sehingga menimbulkan tabrakan logika bahasa. Padahal kita mengetahui bahwa sesuatu yang dipaksakan biasanya menghasilkan sesuatu yang tidak baik.
Khusus untuk mempolisikan, seandainya mempolisikan benar sebagai kata kerja, seharusnya mempolisikan ditulis memolisikan seperti yang terjadi pada menyopir dan memiloti, karena di sana berlaku hukum peluluhan terhadap konsonan K, P, S dan T.
Jadi, meski menggurui, menyopir dan memiloti terdapat dalam KBBI, kita tidak harus menerima kata tersebut begitu saja. Segala sesuatu yang terasa janggal atau menyimpang dari aturan, mesti kita tinjau ulang dengan semangat mencari kebenaran, termasuk kebenaran bahasa. (*)
HOLY ADIB
(Wartawan Haluan dan Pemerhati Bahasa Indonesia)