PAINAN, HALUAN — Mencengangkan! Jumlah lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di Kabupaten Pesisir Selatan mencapai 500 orang. LGBT di daerah itu didominasi oleh “bencong”, gay, lesbi yang umumnya bekerja di bidang jasa dan termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Pemerhati masalah sosial, adat, budaya dan seni di Kabupaten Pesisir Selatan Ari Nurkomari Kamis (10/3) kepada Haluan menyebutkan, dari survei yang dilakukan lembaga Garis Pantai yang dipimpinnya, hingga awal tahun 2016 jumlah LGBT di Pessel naik drastis.
Baca Juga : Peduli, Satreskrim Polres Sijunjung Beri Bantuan ke Panti Asuhan
“Penghujung tahun 2014 jumlah LGBT hanya sekitar 300 orang, namun awal tahun 2016 telah mencapai 500 orang. Salah satu penyebab meningkatnya jumlah LGBT adalah semakin terbukanya akses informasi dan komunikasi. Garis Pantai telah mencoba wawancara live di radio di Painan dengan kelompok LGBT tersebut,” katanya.
Disebutkan Ari Nurkomari, LGBT di Pesisir Selatan didominasi oleh transgender, gay dan lesbian. Mereka tersebar di 15 kecamatan dengan profesi pada umumnya bergerak di bidang jasa misalnya penari dan penyanyi, salon kecantikan dan perdagangan.
Baca Juga : Lantik 11 Ketua TP PKK, Harneli: Intinya Kompak, Kepala Daerah Pasti Sukses
“Selain itu LGBT di Pessel juga ada yang bekerja di pemerintahan sebagai PNS, mahasiswa atau mahasiswi. Berdasarkan catatan kami, fenomena LGBT ini sudah muncul ke permukaan semenjak teknologi hiburan dan bisnis salon kecantikan berkembang,” katanya.
Disebutkannya, tampilan di masyarakat antara waria dengan gay dan kesbian agak berbeda. Lesbian dan gay tidak terlalu atraktif dan cenderung tampak sama dengan orang kebanyakan sehingga dapat bergaul di semua lapisan masyarakat. Namun waria nampak jelas dari tampilan fisik namun cenderung tidak diterima masyarakat.
Baca Juga : Trans Mentawai Wahana Strategis Pemasaran Pertanian ke Daerah
Salah seorang waria di Lengayang yang tidak bersedia disebutkan namanya kepada Haluan mengatakan, waria mempunyai organisasi tersendiri di Pesisir Selatan sehingga kegiatan bisa terorganisir dengan baik. “Eike biasanya ngumpul pada waktu-waktu tertentu. Dan sebelumnya diundang pemimpin kami. Terkadang kami berkumpul di acara orgen tunggal,” kata waria yang berprofesi sebagai tukang salon ini.
Sementara itu Kantor Kementerian Agama Pesisir Selatan hingga saat ini belum menemukan LGBT mengajukan permohonan nikah sejenis. Namun pihak Kantor Kementerian Agama akan menolak tegas bila ada calon pengantin dengan jenis kelamin sama.
Baca Juga : Persiapan Penandatanganan MoU, Disperindagkop dan UKM Pariaman Kunker ke Pekanbaru
Masalah Sosial Lain
Pesisir Selatan saat ini membutuhkan asrama rehabilitasi dan psikolog untuk wanita dan anak korban kekerasan. Rumah rehabilitasi tersebut minimal mampu menampung lima belas orang, hal itu sesuai dengan jumlah angka kekerasan terhadap wanita dan anak dalam setahun di daerah.
Sebelumnya Kepala BPM KB PPr Mawardi Roska menyebutkan, hingga saat ini Pesisir Selatan belum memiliki rumah rehabilitasi atau penitipan wanita dan anak korban kekerasan, akibatnya Pessel kesulitan melakukan rehabilitasi korban kekerasan tersebut. Selain itu, dalam setiap penangan kasus kekerasan korban juga belum dapat penanganan dari psikolog.
Selama ini menurutnya, untuk kasus - kasus berat, Pemkab harus menyewa penginapan di Painan selama masa rehabilitasi, namun langkah seperti itu membuat korban menjadi risih, dilain pihak biaya yang harus dikeluarkan juga mahal.
Dikatakannya, BPM KB PPr dan Anak Pessel dalam menangani persoalan tersebut masih menemukan banyak kendala. “Misalnya belum adanya tempat untuk merehabilitasi korban kekerasan, belum ada tenaga psikiater dan tenaga penasihat atau pendamping hukum bagi korban. Pada beberapa kali pertemuan hal ini sudah sering dibicarakan,” katanya.
Disebutkan Mawardi Roska, BPM KB PPr juga masih kekurangan tenaga untuk melakukan pemantauan kasus - kasus kekerasan terhadap perempuan. “Selama ini kami memberdayakan Guru BP disekolah sekolah, dan peran Walinagari dan Ninik Mamak. Potensi terjadinya kekerasan pada perempuan dan anak sangat besar di Pessel,” katanya
Menurutnya, BPM KB PPr Pessel telah menangani setidaknya 15 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Pesisir Selatan sepanjang tahun 2014, jumlah ini nyaris sama dengan tahun sebelumnya. Umumnya kasus itu terungkap atas laporan keluarga atau masyarakat yang tinggal didekat kejadian ke BPM KB PPr Pessel.
“Kasus yang ditangani didominasi oleh kekerasan seksual terhadap perempuan, maupun terhadap anak. Dilihat dari jumlah kasus tersebut, Pessel perlu mewaspadai kasus - kasus serupa di tempat yang dikhawatirkan akan muncul. Kasus-kasus kekerasan seksual kepada perempuan itu selanjutnya diproses secara hukum melalui institusi penegak hukum. Pelaku telah dituntut dan menjalani hukuman,” katanya.
Mawardi Roska menyebutkan, tingginya kasus kekerasan seksual tehadap perempuan dan anak mengharuskan setiap nagari meningkatkan kewaspadaan akan munculnya hal tersebut dikemudian hari. Rata-rata penyebab kekerasan terkait motif ekonomi dan lemahnya pengawasan orang tua. Termasuk semakin menipisnya kesadaran kolektif sutu kawasan atas munculnya kekerasan kepada perempuan dan anak.
Potensi kekerasan itu di Pesisir Selatan menurutnya, bisa dipicu soal ekonomi, kepadatan penduduk, kondisi geografis, lunturnya nilai nilai agama dan adat disuatu tempat. Kekerasan juga bisa dipicu oleh masuknya kebiasaan dan tradisi yang tidak sesuai dengan tradisi di Pessel. (har)