Seekor rama-rama terbang rendah. Ia datang dari arah yang entah. Rama-rama itu besar, seukuran telapak tangan. Kepaknya hitam serupa malam awal bulan. Ia mengibaskan sayapnya perlahan, satu-satu, dan mendekat seperti mengendap-endap, seperti menyerap setiap derik kebisingan dan menyirep telinga dalam kesenyapan yang pekat.
Ketika itu, Ramzi sedang bersitekun mengasah aritnya. Ia terus saja tersenyum, sambil sesekali merasakan ketajaman mata arit dengan ibu jarinya.
Baca Juga : Beragam Tradisi Unik Masyarakat Adat Indonesia di Bulan Rajab
“Besok akan menjadi mula dari hari yang sempurna,” Ramzi bicara pada dirinya sendiri.
Setelah menunggu sekian lama, hari panen itu datang juga. Ini adalah panen padi pertama dari hasil garapan tangannya sendiri. Sawah itu awalnya milik orang tua Rokaya, istrinya. Sebab Ayah Rokaya tak lagi sanggup untuk mengelola, ia menyerahkan urusan lahan kepada Rokaya dan suaminya dengan sistem bagi hasil delapan puluh-dua puluh.
Baca Juga : Ini Daftar Hewan Langka yang Perlu Kamu Lihat Sebelum Punah
Ramzi tak dapat menggambarkan seberapa besar kebahagiaan yang ia miliki sekarang, esok, dan ke depannya. Selama berumah tangga bersama Rokaya, mereka selalu hidup pas-pasan. Selain bekerja serabutan, Ramzi menghabiskan hari-harinya dengan mendengarkan gerutuan Rokaya.
“Bagaimana bisa membeli mesin cuci macam Si Zaitun kalau kau kerjanya cuma ikut-ikut Bang Toleh hilir-mudik! Ia barangkali mendapat gaji dari bosnya. Lha, kamu? Cuma dapat sedekahan dari Bang Toleh. Itu pun kalau pikirannya sedang baik. Kalau tidak, alamat kita akan makan berlauk angin berkuah air mata. Bagaimana kita bisa menabung? Bagaimana kita bisa membangun rumah?” Jengkel Rokaya sudah sampai ujung rambutnya.
Baca Juga : Berminat untuk Menjadi Penyelam? Ini Tipsnya untuk Pemula
“Sekali-sekali, saya juga ingin diajak jalan-jalan ke pasar malam. Sekali-sekali, saya juga ingin makan ayam goreng di restoran. Sekali-sekali saya juga ingin beli baju model orang-orang pakai. Mungkin dunia akan kiamat kalau kau bisa mengabulkan permintaanku, sekali saja!”
“Ngasi duit sedikit, kau malah minta lauk macam-macam?”
Baca Juga : Pembelajaran Ideal Anak saat Pandemi
Ada saja hal-hal yang diributkan Rokaya, yang ujung-ujung akan menyalahkan Ramzi. Sebagai seorang suami, Ramzi selalu salah di mata Rokaya. Jika Ramzi kadang-kadang benar, maka setiap kebenaran itu harus kembali ke pasal satu; Ramzi selalu salah. Setiap hari, Ramzi diselimuti ketakutan bila Rokaya benar-benar kecewa dengan dirinya dan memilih untuk menjalin hubungan dengan pria lain yang lebih berada darinya. Hanya saja, semakin ia memikirkan itu bukan membuatnya semangat mencari pekerjaan, tapi semakin ia merasa tak berdaya dan diliputi kecurigaan. Walaupun sejauh ini, kecurigaannya cuma ilusi-ilusi yang berpesta di kepalanya.
Kini, membayangkan padi-padi kuning emasnya telah matang dan siap panen, semua resah yang ditanggungnya selama ini seakan meleleh. Setiap kali dia menerka-nerka jumlah karung padi yang akan dia dapat, setiap itu pula satu karung beban hidupnya berkurang. Esok, setelah padi selesai dipanen, segala tekanan dari Rokaya akan berakhir. Ingin rasanya, ia menyumbat mulut tebal Rokaya dengan berkarung-karung padi. Esok, setelah sebagian hasil panen dijual, ingin rasanya ia berkata kepada Rokaya, “Kau mau apa, Rokaya sayang? Ayo, kita beli!” Seolah hasil penjualan itu cukup untuk membeli dunia ini beserta surga dan neraka.
Khayalan Ramzi terusik oleh sesuatu yang tiba-tiba hinggap di atas rambutnya. Ramzi menepisnya dengan arit yang sudah setengah tajam. Sesuatu itu jatuh ke tanah. Seekor rama-rama hitam megap-megap. Sayapnya rusak. Ia tak dapat terbang lagi.
Ramzi tak peduli. Ia tak ingin diganggu oleh siapapun atau apapun saat ini. Aritnya harus diasah dengan telaten agar dapat dipakai dengan purna esok pagi. Agar segala angan-angan kebahagiaan itu tidak serupa buah yang busuk sebelum mengkal.
Dering telepon genggam Ramzi memekik di ruang tamu. Telepon genggam itu satu-satunya bukti bahwa dulu, sebelum menikah dengan Rokaya, ia sempat merasa jaya. Dulu itu, ia adalah pemuda gagah yang bekerja sebagai pegawai toko sepatu di Medan. Tiap bulan beli baju, beli minyak rambut, minyak wangi, pembersih wajah, dan tentu saja, gonta-ganti sepatu. Barang-barang yang sudah sering dipakai, dibagi-bagikan kepada temannya. Kecuali telepon genggamnya itu. Bahkan hingga bosnya bangkrut, kemudian Ramzi resmi menjadi pengangguran, dan kembali memboyong Rokaya ke rumah orang tuanya di kampung tepat enam bulan usia pernikahan mereka, Ramzi tak hendak menjual telepon bututnya itu sekadar untuk menutupi kekurangan penganan pokok.
Ramzi membiarkan telepon itu bernyanyi terus-menerus. Deringnya berhenti. Lalu berbunyi lagi. Ramzi berdiri dengan malas.
Di atas tanah, rama-rama itu telah kaku.
Ia melihat nama Rokaya di layar telepon genggamnya. Ketika itu, Rokaya sedang membeli bahan makanan di pasar untuk dimasak esok pagi.
“Kenapa tidak beli di kedai Mak Nais saja?” Ramzi keberatan saat Rokaya meminta izin.
“Sayur-sayur harganya lebih murah kalau sore.” Rokaya bersikeras. “Lagipula, di pasar, bahan-bahan yang tersedia lebih lengkap. Jadi, aku bisa masak yang enak-enak buat besok.”
Pasar cukup jauh dari rumah mereka. Ramzi ingin mengantar, tapi mereka tak punya kendaraan. Ditambah lagi, Rokaya juga tak mau ditemani.
“Tidak usah. Kau di rumah saja. Istirahat untuk besok.”
Ramzi tidak punya kata-kata lagi. Bayangan Rokaya bergandengan tangan dengan lelaki lain menyergapnya lagi. Itu membuat lidahnya kelu berdebat dengan Rokaya.
***
Layar telepon genggam Ramzi masih berkedip-kedip. Nada deringnya semakin keras. Ramzi segera mengangkatnya.
Ia mendengar suara lelaki di seberang. Darah Ramzi berdesir seolah membenarkan prasangkanya selama ini. Rokaya memang mempunyai lelaki lain. Belum sempat Ramzi disulut amarah, ia malah dikejutkan dengan berita yang disampaikan lelaki itu. Ia mengabarkan Rokaya tertabrak kendaraan bermotor yang melaju kencang.
“Tapi, istri saya sedang berada di pasar, Pak. Dari rumah kami, jalan menuju pasar dan tepi pantai itu melewati simpang yang berbeda.” Ramzi belum paham maksud si penelepon.
“Kami tidak tahu tentang itu, Pak! Yang jelas, melalui identitas yang kami temukan di dompetnya, namanya Rokaya. Kami juga menemukan nomor telepon anda di sana. Dia betul istri anda, bukan?”
“Iya, Pak.”
“Kalau begitu, silakan datang ke lokasi segera.”
“B-baik, Pak.”
Ramzi terpaku beberapa menit. Baginya, hal itu membingungkan. Namun di kenyataan, itu bukan permainan.
Setelah yakin dengan apa yang baru saja didengarnya, Ramzi menjadi kalap. Di dalam dadanya, kesedihan berkecamuk. Di dalam kepalanya, bayangan kebahagiaan remuk dan tercerai berai. Ramzi mencoba tenang dan mencari pembenaran bahwa itu bukan Rokaya, istrinya. Rokaya sedang berbelanja alat dapur di pasar. Namun, sekali lagi, ia terjerembab di kenyataan bahwa seorang polisi baru saja menghubungi dan mengatakan kepadanya dengan jelas bahwa Rokaya kecelakaan dan sekarang kritis di rumah sakit. Dan kenyataan yang paling menyakitkan bagi Ramzi, Rokaya tidak sedang berada di pasar, tapi di tepi pantai. Ramzi serasa diserap bumi, lalu dihimpit langit.
Dengan sisa kewarasan yang tersisa, Ramzi bergegas ke rumah tetangga guna meminjam sepeda motor.
“Mau kemana, Bang?” Ramzi menjawab pertanyaan itu dengan memacu kendaraannya dengan cepat. Raungan sepeda motor masih mengiang-ngiang ketika Ramzi sudah menjauh.
Sepeda motor Ramzi terus melaju dengan kecepatan tinggi. Ia tidak ingin membuang satu menit pun waktu berharganya untuk bisa melihat keadaan Rokaya. Sementara, di dalam matanya berbagai macam adegan diputar. Setiap adegan merubah raut muka Ramzi. Senyum Rokaya. Omelan Rokaya yang baru ia sadari sebagai kata-kata paling inspiratif yang seharusnya membangkitkan semangat hidupnya. Ia berduka, lalu sedih, merasa dikhianati, dan sampai pada adegan Rokaya merangkul mesra pinggang lelaki ceking-hitam-bersaku tebal di atas kendaraan, saat itu juga Ramzi menangis sejadi-jadinya. Mata dan pipinya basah kuyup, tapi Ia tetap melajukan motornya dengan kencang. Ia mencintai Rokaya dengan sepenuh-penuhnya, Ia berharap pada Rokaya sebanyak-banyaknya, tapi Ia hanya mendapatkan kekecewaan sedalam-dalamnya. Saat itu, Ramzi merasa sangat sedih sesedih-sesedihnya. Orang-orang yang melihatnya mengendarai motor dalam keadaan demikian, barangkali akan berpikir bahwa ia sedang sakit gila.
Ramzi tiba pada simpang tiga yang memisahkan antara rumahnya, pasar raya, dan Pantai Asmara. Ia tak peduli lampu merah sedang menyala, dan membelokkan motornya ke simpang kanan. Seorang polisi meneriakinya. Ia malah mengegas lebih keras, dan membuat motornya berlari bagai kilat. Ramzi tak pernah menggunakan motor selaju itu sebelumnya. Tapi, karena mengkhawatirkan Rokaya, semua yang tidak mungkin menjadi amat mungkin terjadi. Semua angan-angan akan menjadi kenyataan.
Kenyataan itu kini tampak terang benderang di depan Ramzi. Dalam kesadaran yang tinggal setengah, Ramzi benar-benar melihat Rokaya di tepi pantai. Rokaya yang sehat, yang tidak tampak sebagai orang yang baru saja mengalami kecelakaan. Rokaya, istrinya yang seharusnya sedang berbelanja ke pasar itu, tampak sedang menyeruput es kelapa muda bersama lelaki yang selama ini tumbuh dalam kepala Ramzi. Sial bagi Ramzi, mereka bahkan minum dari buah kelapa yang sama. Senyum genit Rokaya kepada lelaki itu membuat Ramzi makin gila, menggeritih tak karuan.
Ramzi hilang akal. Ia gelap mata. Kesadarannya benar-benar telah lari dari pikiran. Bukannya memelankan kendaraan dan berhenti, Ramzi malah semakin menambah kecepatan motornya. Tiga detik kemudian, satu pekik panjang terdengar. Gaduh meramai. Ramzi menabrakkan motornya ke tempat duduk Rokaya yang terbuat dari semen. Ia terpental beberapa meter ke jalan raya, dengan kepala membentur aspal keras. Darah seketika mengucur deras. Orang-orang terkesiap.
Dari darah Ramzi yang menggenang muncul gelembung-gelembung. Perlahan, gelembung-gelembung itu memadat dan kemudian bergerak-gerak. Gelembung itu pecah sempurna. Sesuatu yang baru telah lahir dari sana, dari tiap gelembung yang memadat itu. Sesuatu yang besar dan bersayap. Lalu, bergerombol, mereka terbang ke negeri entah. (*)
Cerpen Oleh: DEDI SUPENDRA