JAKARTA, HALUAN — Kematian Suyono (39) yang menjadi terduga teroris dari Klaten setelah ditangkap oleh Densus 88, kembali menambah daftar panjang tidak transparan dan akuntabelnya operasi pemberantasan terorisme.
Kejadian ini, diharapkan bisa menjadi momentum untuk melakukan audit terhadap Densus 88. Pengamat terorisme, Haris Abu Ulya mengatakan, selama ini masyarakat sudah mengindikasi adanya tindakan yang tidak sesuai yang dilakukan oleh Densus 88. “Kalau Densus mau jujur buka data, setidaknya ada 120-an orang yang tewas dalam operasi terorisme di luar pengadilan,” kata Haris, Minggu (13/3).
Baca Juga : Antisipasi Varian Virus Corona Baru, Ini Pesan Penting Kapolri
Kemudian, untuk kasus salah tangkap, setidaknya lebih dari 40 orang dan 99 persen dari mereka yang salah tangkap ini mengalami penyiksaan. Dikatakan Haris, data tersebut baru hasil monitoring yang ia lakukan hampir setiap tahun.
“Sudah banyak orang tewas lantaran dicurigai sebagai teroris yang belum terbukti kebenarannya. Ekstra-judicial killing sudah lebih dari 120 orang, hanya dengan alasan seseorang itu terduga, terkait, tersangka teroris, dan alasan klise bahwa mereka melawan,” kata Haris yang juga Direktur The Community of Islamic Ideology Analyst (CIIA) itu.
Baca Juga : KKP Jamin Kemudahan Usaha Perikanan Tangkap
Haris berharap, pimpinan di kepolisian dapat menegaskan transparansi operasi Densus 88 selama ini sehingga lebih akuntabel. Kalau memang Densus 88 harus membunuh atau menewaskan, jadi bisa dipertanggungjawabkan ke publik.
“Itu teknis, misalkan setiap operasi helm anggota Densus 88 dipasang kamera. Jadi, selesai operasi, gerak-gerik anggota itu bisa dievaluasi. Kenapa harus menembak, melumpuhkan, atau bila terpaksa harus menewaskan,” katanya sembari menyarankan, agar Densus 88 mendapatkan pemeriksaan psikiater independen.
Baca Juga : Jangan Main-main dengan Vaksin Covid-19, Ini Ultimatum Mabes Polri
Aktivis HAM, Rozaq Asyhari, dari Pusat Advokasi Hukum dan HAM (Paham) Indonesia mengatakan, Densus 88 memiliki tanggung jawab mutlak terhadap keselamatan Siyono karena dia adalah salah satu warga negara. Sedangkan, tugas Polri adalah memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat.
“Bila memang Siyono diduga melakukan tindak kejahatan, tugas Densus adalah menghadapkannya ke pengadilan, karena tugas Polri adalah sebagai penegak hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Kepolisian” kata Sekjen Paham Indonesia tersebut, Minggu (13/3).
Baca Juga : Awas Tertipu! Ini Daftar 28 Investasi Bodong yang 'Disikat' OJK
Kapolri diminta untuk menurunkan tim guna melakukan audit investigatif terhadap tewasnya Siyono. “Saya rasa itu harus dilakukan oleh Kapolri karena ini bukan pertama kalinya. Tahun 2011 kami juga menerima laporan tewasnya warga Bandung bernama Untung Budi Santoso setelah ditangkap di desa Cibolang. Karenanya, perlu diaudit dan dilakukan perbaikan agar kepercayaan masyarakat terhadap Polri tetap tejaga,” ujar pengacara publik tersebut.
Selain itu, Rozaq juga menyampaikan perlunya untuk menghentikan rencana revisi UU Teorisme. “Kita sepakat untuk memerangi terorisme dan mengutuk tindakan terorisme. Namun, soal revisi UU Terorisme, sepertinya perlu dikaji ulang,” katanya menegaskan.
Tanggungjawab Pemerintah
Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menilai, ditengah ketatnya pasal-pasal mengenai terorisme di revisi UU Terorisme juga harus diseimbangkan dengan klausul yang menyatakan pemerintah bertanggung jawab atas kasus salah tangkap dan salah tembak.
Margarito menilai, jangan sampai revisi UU Terorisme ini berpotensi untuk abuse of power dan menimbulkan banyak orang yang menjadi korban salah tangkap dan salah tembak. Pemerintah berkewajiban untuk membersihkan nama orang yang ternyata terbukti tidak terlibat dengan terorisme, padahal ia sudah ditangkap atau ditahan.
“Itu sudah diatur di KUHAP bahwa harus ada perbaikan nama baik kalau memang dia terbukti tidak bersalah. Kalau sampai salah tembak maka pemerintah harus ganti rugi. Atau menindak dengan tegas. Yang nembak harus di copot jabatannya.” ujar Margarito dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta, Minggu (13/3).
Meski sudah diatur di dalam KUHAP, Margarito juga menilai perlu adanya klausul yang mengatur secara spesifik soal ini di dalam revisi UU Terorisme. Jika tidak maka, peluang untuk aparat penegak hukum melakukan abuse of power bisa terjadi.
Selain diatur mengenai pembersihan nama baik. Dalam kasus ini tuduhan kepada orang yang terlibat dalam terorisme juga harus bisa diuji dalam praperadilan. ”Harus bisa diuji di dalam praperadilan. Dan pemerintah harus tanggung jawab,” ujar Margarito.
Disisi lain, Menkopolhukam, Luhut Binsar Panjaitan saat ditemui Republika, Sabtu (12/3) menjamin bahwa penindakan kepada terduga terorisme tidak akan menyalahi prosedur. Aparat penegak hukum bisa memastikan bahwa tidak akan melakukan salah tangkap dan salah tembak.
Namun, ia juga tak bisa memungkiri bahwa manusia bisa salah dan mungkin aparat penegak hukum juga bisa khilaf dalam hal ini. Ia mengatakan pemerintah akan bertanggung jawab penuh ketika orang tersebut tidak terbukti bersalah. Pemerintah akan memberikan klarifikasi dan akan menjamin orang tersebut terbebas dari tuduhan sosial juga moral.
“Kalau salah (tangkap) pastilah kita minta maaf dengan cara yang baik. Saya kira tidak adil juga kita sudah rusak nama dia, kita tidak beri klarifikasi bahwa dia tidak salah. Kita akan tanggung jawab,” ujar Luhut. (h/rol)