Pendekar tak takut berjalan sendiri, begitulah ucapan pamungkas Prabowo Subianto kepada awak media setelah acara Peringatan Ulang Tahun ke-8 Partai Gerindra di Kantor DPP Partai Gerindra, Ragunan, Jakarta Selatan, Sabtu (6/2/2016), awal Februari lalu.
Jawaban ini nampaknya sekaligus menjadi penegasan bahwa beberapa partai pentolan dalam Koalisi Merah Putih akan merapat dan parkir di istana, sebagaimana santer belakangan dikabarkan media. Sebut saja misalnya PAN, Golkar versi Bali dan Ancol, dan PPP versi Munas Jakarta.
Baca Juga : SKB 3 Menteri Terkait Pemakaian Seragam siswa Perlu Ditinjau Ulang
Mantan calon presiden nomor urut satu itu menegaskan, Gerindra tetap setia kepada rakyat Indonesia dan tak pernah takut untuk membela kepentingan bangsa dan negara. “Gerindra setia kepada rakyat Indonesia, setia kepada merah putih, setia kepada Republik Indonesia. Kita enggak pernah surut cinta kita kepada bangsa negara. Kita enggak pernah takut yang benar itu benar, yang salah itu salah. Kita tak akan takut membela kepentingan bangsa dan negara. Kalau enggak sanggup lebih baik kita minggir saja,” seru Prabowo.
Nampaknya cukup dalam pernyataan-pernyataan beliau ketika itu. Pendekar yang lari tunggang langgang, kehabisan jurus, kemudian tanpa teding aling-aling meninggalkan markasnya untuk mendapat berbagai konsesi dari lawan lama yang belum juga puas dengan kemenanganya, langsung terkena point-point penyataan beliau. Itu adalah pernyataan ikhlas menjomblo tapi penuh dengan analogi-analogi logika terbalik yang menyatakan kekecewaan atas mantan kawan-kawan dekatnya.
Baca Juga : Jangan Ikuti! Iblis Penebar Hoaks Pertama
Prabowo maupun Gerindra, nampaknya sadar betul bahwa tak ada kawan yang abadi di dalam politik. Sehingga memahami segala model keputusan yang diambil oleh mantan kawan-kawan sekoalisinya, off the record maupun on the record, mau tak mau adalah sikap politik realistis yang layak diambil untuk saat ini. Perkara kemudian tersisa sendiri (mungkin tidak sepenuhnya sendiri karena PKS belum menentukan sikap), tentu itu perkara lain.
Dalam konstelasi politik yang masih sangat fleksible, dimana gambar jelas tentang arsitektur politik istana belum terlihat, peta konfigurasi dukungan politik belum baku, tarikan dan dorongan masih sangat dinamis. Sehingga peluang-peluang bagi yang belum mendapatkan konsesi politik masih sangatlah besar. Para pihak yang terpaksa bergabung dengan pemerintah akibat buah pahit kekisruhan internal atau yang memang menjilat sana sini untuk diajak masuk ke dalam istana adalah mangsa empuk dari konstelasi politik semacam ini
Baca Juga : Surau Inyiak Djambek, Warisan Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam
Namun ada logika analogis Prabowo yang agak berbeda kali ini. Pernyataanya terdengar netral, tapi terkesan dalam dan menendang. Dibalik pernyataan itu, tersimpan cibiran sarkastis bahwa yang keluar dari rumah besar bernama KMP adalah pendekar-pendekar gagal yang ketakutan berlama-lama diluar lingkaran kekuasaan istana. Apalagi jika disandingkan dengan pernyataan Ade Komarudin beberapa waktu sebelumnya yang juga membawa-bawa kata “ikhlas” sebagai aksentuasi pernyataan kebersediaan Golkar bergabung dengan lapak istana. Keduanya terkesan sangat kontras, walau menggunakan kata sifat yang sama, yaitu ikhlas. Yang satu ikhlas ditinggalkan dan yang satu ikhlas meninggalkan.
Terlepas ada atau tidak logika sindir-menyindir di balik pernyataan itu, kesamaan pada satu kata itu menandakan satu hal, yakni mereka bercerai dengan baik-baik, tanpa intimidasi dan paksaan, apalagi KDRT politik. Mungkin saja pihak Gerindra merasa dikhianati, atau pihak Golkar dan PAN merasa tak dinafkahi, tapi at the end, mereka sepakat berpisah baik-baik, tanpa keributan dan aksi saling caci maki layaknya yang terjadi didalam internal Golkar belum lama ini.
Baca Juga : Prabowo dan Habib Rizieq
Setidaknya ini point penting dari kedewasaan politik kedua belah pihak. Pesan moralnya, jikapun harus bercerai, bercerailah dengan ikhlas dan baik-baik. Jika yang satu ingin berselingkuh, berselingkuhlah dengan ikhlas layaknya Golkar dan PAN. Dan jikapun tak beruntung alias ada diposisi terkhianati karena ada yang berselingkuh, maka terimalah dengan ikhlas. Karena bagi yang berselingkuh, logikanya tetaplah sama, berselingkuh itu indah. Karena itu terima sajalah dengan ikhlas. Logikanya, wong yang berselingkuh saja ikhlas kok, masa yang tidak berselingkuh memaksakan diri untuk tidak ikhlas. Tentu tidak lucu!
Secara komparatif, meskipun agak berbeda dengan sikap Megawati dan PDIP saat dua periode memilih bertahan di jalan oposisi, Prabowo dan Gerindra juga memilih jalur oposisi, tapi oposisi yang ingklusif. Di satu sisi tetap konsisten dengan visi misinya alias tetap berdiri konsisten diluar pemerintahan, tapi di sisi lain juga percaya bahwa komunikasi politik dengan siapapun adalah hal yang sangat penting. Prabowo menyempatkan diri hadir dalam pelantikan presiden Joko Widodo dan meluangkan waktu untuk kembali bertemu dengan Sang presiden di Istana Bogor saat ketakutan atas semakin membesarnya konflik internal di dalam kubu pendukung presiden kian menyeruak. Sementara itu, ketika Megawati ada di jalan yang sama, hampir sepanjang pemerintahan SBY beliau mengambil jalan oposisi yang ekslusif dan menutup diri dengan mantan lawan tanding dan penentang-penentangnya.
Sehingga kenaikan suara PDIP lebih banyak dianggap sebagai implikasi positif dari pembusukan -pembusukan yang dialami oleh lawan-lawan utamanya, seperti hantaman bertubi-tubi yang menyeret Ketua Umum Demokrat ketika itu, Anas Urbaningrum dan kasus yang menimpa presiden PKS. Berbeda dengan Gerindra, extra efford dari partai yang didirikan oleh Prabowo ini terasa labih dahsyad karena selain mendulang untung dari pembusukan politik yang dialami partai-partai utama, Gerindra juga membuktikan bahwa ada usaha-usaha strategis partai yang terlihat dari diraihnya peringkat ketiga partai pemenang pascapileg dengan kenaikan yang sangat bombastis, sementara PDIP hanya mengantongi suara lama yang hilang dengan kenaikan yang tidak terlalu drastis, meskipun keduanya sama-sama ada dijalur oposisi ketika itu.
Selain itu, konsistensi Gerindra juga terlihat lebih lurus karena meskipun PDIP ada di luar kekuasaan kala itu, tapi kader-kadernya yang terlibat kasus korupsi juga terhitung tidak sedikit, tak jauh berbeda dengan kader-kader partai yang masuk ke dalam pemerintahan, sementara Gerindra nyaris tidak memiliki kader yang bermasalah secara hukum ketika itu. Tapi terlepas dari itu semua, toh terbukti setelah dua periode puasa, PDIP akhirnya kembali meraih masa jayanya, walau bukan lagi menjual nama Megawati.
Lalu pertanyaanya, apakah Gerindra akan mendulang sukses yang sama di tahun 2019 nanti, meskipun mengambil jalan oposisi yang lebih ingklusif? Peluang tentu sangat besar, apalagi jika Gerindra dan Prabowo memainkan kartu yang tepat. Tetap konsisten dengan posisi politik, kritis terhadap penguasa dan patriotis terhadap kepentingan bangsa, serta tetap memainkan politik bersahabat dengan istana dan terbuka berkomunikasi dengan siapapun. Jika tetap bersikap apresiatif terhadap segala prestasi istana yang mendulang decak kagum pemilih, besar kemungkinan Gerindra akan mampu mendulang suara swing voter yang kritis, sama dengan ketika Gerindra berteriak lantang menolak aksi-aksi tak menguntungkan rakyat yang dipertontonkan istana.
Dan poin penting terakhir, keputusan Gerindra (termasuk PKS tentunya) untuk tetap berjuang di luar pemerintahan adalah keputusan yang cukup menguntungkan demokrasi kita. Istana butuh penetang agar popularitas dan elektabilitas tidak melenakan penguasa dan tidak menjerumuskan penguasa ke dalam kebijakan-kebijakan sepihak yang seenaknya berlindung dibalik nama rakyat pemilih. Di sinilah signifikasi oposisi sebenarnya. Semoga (*)
RONNY P SASMITA
(Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia)