Di abad informasi ini, semua orang membutuhkan media. Media menjembatani hadirnya informasi ke tengah publik, publik hidup dalam gelombang dan arus informasi. Barang siapa yang ketinggalan informasi, maka ia bagai terpencil dari dinamika dunia.
Sebaliknya, orang yang menguasai informasi, akan gampang untuk menguasai dunia. Relasi media-manusia, ternyata tidak sesimpel itu. Aspek-aspek di luar media dan manusia ternyata mempengaruhi akan bagaimana dunia di masa depan dirancang oleh penghuni planet ini. Dibutuhkan analisis dan kerja yang lebih konkrit menyiasati revolusi media dan tantangan global.
Baca Juga : SKB 3 Menteri Terkait Pemakaian Seragam siswa Perlu Ditinjau Ulang
Pakar sosiologi media, Manuel Castells (2009) mengatakan bahwa kita sudah hidup dalam jaring laba-laba media. Interaksi kita dengan media sudah saling membutuhkan. Tingkatannya tidak hanya dalam hal mengkonsumsi informasi dalam media lagi, namun jauh dari itu, kita pun bisa memproduksi informasi, apalagi sejak ditemukan media sosial. Aktivitas mengkonsumsi sekaligus memproduksi informasi adalah hal yang jamak dan sudah terlalu biasa di zaman sekarang. Aktivitas itu tidak hanya berjalan secara artifisial, justru hal-hal yang substansial ternyata menghadirkan problematika yang tidak kalah penting untuk dicermati.
Revolusi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memang membawa lompatan besar dalam kehidupan umat manusia. Tidak hanya menyentuh sisi ekonomi, revolusi ini juga merambah kebutuhan lain di lingkup sosial-budaya. Karakteristik manusia di hari ini sedikit banyak dipengaruhi oleh bagaimana perilaku berkomunikasi sehari-hari. Korelasi antara sikap berkomunikasi dengan pembentukan dan perubahan karakter ternyata memiliki saham dalam hal dinamika yang terjadi di masyarakat dan bahkan sebuah negara. Untuk itu, revolusi TIK harus segera dimaknai sebagai awal untuk revolusi paradigma di ranah-ranah lain, semisal pendidikan, sebagai salah satu ujung tombak peradaban.
Baca Juga : Jangan Ikuti! Iblis Penebar Hoaks Pertama
Media, Pendidikan, Peradaban
Sekaitan semakin menguatnya eksistensi dan relevansi media di aktivitas kehidupan masyarakat dunia, di mana telah terjadi mediatisasi di seluruh lini, maka media secara tidak langsung juga ikut terlibat dalam pembentukan karakter manusia. Jika selama ini peradaban dianggap hanya bisa dirancang melalui lapangan pendidikan dan sosial-budaya, maka sesungguhnya kini kita tak bisa menafikan peran media. Media adalah guru sedari kecil. Tengoklah anak-anak kita, sudah melek gadget sedari balita. Daya pikir dan kreatifitas mereka tanpa sadar diajarkan oleh aplikasi yang dengan gampang tersedia di ponsel.
Baca Juga : Surau Inyiak Djambek, Warisan Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam
Menyadari tsunami media di seluruh lapangan kehidupan, maka peran pendidikan semakin menguat, manakala media itu sendiri menawarkan dua sisi mata uang. Memang, media mencerdaskan manusia dengan berondongan informasinya yang bernilai positif. Sebaliknya, media juga ternyata diam-diam mengemban ‘misi’ untuk melenakan manusia. Keterlenaan itu secara pasti menyasar di semakin tercurinya waktu untuk saling berinteraksi secara langsung antar sesama manusia. Ketika manusia sibuk dengan gadgetnya, maka ruang privacynya mendominasi sehingga relasi sosial terputus sementara.
Efek negatif media juga merambah ke potensi ketergantungan terhadap segala aplikasi, seperti game, chatting, dan kanal-kanal yang belum tentu memaparkan informasi yang berguna, lebih banyak remeh-temeh seperti gosip dan anjuran untuk secara instan menyerap nilai-nilai dari kutub kebudayaan yang berbeda dengan kita. Belum lagi konten pornografi, yang dengan berbagai cara ternyata tetap bisa diintip meskipun negara kita sudah memblokir secara formal. Kesemuanya itu menegaskan satu hal: media sama saja dengan benda dan materi lainnya, manfaatnya tergantung bagaimana penggunanya.
Baca Juga : Prabowo dan Habib Rizieq
Sinergitas Klise
Menyigi tentang pentingnya jaringan yang terbangun antara media dengan institusi-institusi strategis adalah sebuah keharusan. Peradaban hanya bisa dirancang melalui usaha yang terorganisir. Pendidikan, sebagai lapangan pembentukan manusia, adalah lini yang paling potensial sekaligus rawan untuk membangun masa depan yang lebih baik. Jika kita sadar betapa media menjadi kata kunci yang semakin mendominasi dan mendeterminasi arah perubahan dan pencerahan, maka sudah saatnya sinergi konstruktif dibangun antara media dengan dunia pendidikan.
Ide sinergitas yang lebih solid menyiratkan bahwa perlu langkah yang lebih konkrit dan menyentuh lapangan mikro. Dalam hal ini, jika kita bicara pendidikan, maka labor dan pabrik sesungguhnya adalah institusi perguruan tinggi. Memang benar, pendidikan dimulai dari dasar, dalam hal ini pendidikan dasar (SD). Tapi, siapakah yang mencetak guru-guru itu kalau bukan perguruan tinggi? Dalam konteks ini, tentunya secara tidak langsung kita merujuk ke bagaimana peran institusi Universitas eks IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) yang jumlahnya ada 10 Universitas di Indonesia.
Selama ini media lebih dianggap sebagai mitra pembentukan citra perguruan tinggi. Media massa ‘dikawani’ agar seluruh aktivitas perguruan tinggi bisa dibaca publik lewat pemberitaan di koran, radio, televisi, media daring. Awak jurnalis selalu mangkal di kantor Hubungan Masyarakat (Humas) perguruan tinggi demi menanti apa saja yang bisa dimunculkan di media tempatnya bekerja. Walau tidak semua perguruan tinggi dan media yang masih ‘terjebak’ dalam pola klise seperti ini, namun kita masih meyakini fenomena ini masih merupakan realiatas umum yang kita temui.
Menuju Relasi Konstruktif
Menarik, berita singkat di harian Kompas, pada 5 Maret 2016 lalu yang memuat tentang iven ‘Temu Media’ yang diadakan oleh Universitas Negeri Parahyangan, Bandung. Kegiatan yang berlangsung pada 3 Maret 2016 itu membahas tentang pentingnya sinergitas yang bersifat saling membutuhkan antara media dan perguruan tinggi. Didapat kesimpulan utama, bahwa media massa dan perguruan tinggi saling membutuhkan satu sama lain. Media dibutuhkan untuk memublikasikan gagasan dan hasil penelitian di perguruan tinggi agar lebih bermanfaat bagi masyarakat luas. Sebaliknya, pemberitaan media massa dapat dijadikan materi untuk penulisan karya ilmiah.
Pada acara yang dihadiri oleh perwakilan puluhan media dari Jawa Barat dan DKI Jakarta tersebut, Rektor Unpar, Mangadar Situmorang mengatakan bahwa selain sebagai rujukan dalam penulisan karya akademik, media dibutuhkan untuk memberikan masukan terhadap perkembangan dunia pendidikan, termasuk perguruan tinggi (Kompas, 5/3/16). Bisa disimpulkan, bahwa peran media harus semakin ditingkatkan. Diskusi-diskusi interaktif, harus berani diadakan. Di kota Padang, masih jarang terdengar sebuah media (koran, radio, televisi) mengundang tokoh dari perguruan tinggi membahas hal-hal krusial.
Menilik iven di Unpar tersebut, peran media yang menjalin relasi yang konstruktif dengan perguruan tinggi ternyata sudah disadari secara lebih mendalam. Kedua institusi, media dan perguruan tinggi mestinya bisa saling berbagi kelebihan dan kemanfaatan masing-masing. Paradigma lama bahwa media hanya butuh berita dan perguruan tinggi hanya butuh citra mestinya sudah dipupus dan digantikan dengan misi yang lebih besar, yaitu agar bagaimana kedua institusi bersama-sama membangun peradaban secara lebih konkrit.
Sisi lain yang juga tak kalah penting adalah bagaimana menjadikan media sebagai alat paling ampuh dalam mensosialisasikan hasil-hasil penelitian yang diproduksi oleh perguruan tinggi. Selama ini kerja penelitian dari para professor dan ahli di suatu bidang hanya bisa diakses oleh pihak tertentu, ekslusif. Penelitian itu (rata-rata) hanya ‘menghuni’ jurnal-jurnal ilmiah, atau kemudian yang bersifat material akan berdebu saja dimakan masa di bengkel atau laboratorium. Terlebih, pemerintah daerah pun masih jarang melibatkan kaum perguruan tinggi untuk berembuk memikirkan bagaimana daerahnya mau dibangun.
Ke depan, dibutuhkan peran aktif Perguruan Tinggi (PT) dan media untuk sama-sama mengedukasi masyarakat bahwa kedua institusi selalu berada di jalur terdepan untuk menjaga peradaban, melalui sosialisasi penelitian, kerjasama-kerjasama yang konstruktif-komunikatif semisal memberi lahan yang luas bagi para peneliti untuk mau menuliskan ikhtisar penelitian dan analisisnya terhadap permasalahan sosial di media massa. Tentu saja, PT juga harus semakin berbenah dalam hal peningkatan kemampuan penulisan ilmiah-populer para dosennya agar mampu dan aktif menulis di media massa. (*)
MOHAMMAD ISA GAUTAMA
(Pengajar Komunikasi Politik, Fakultas Ilmu Sosial, UNP)