Di sini semuanya serba jumbo. Mulai dari kuali, periuk atau penanak nasi, semuanya memiliki ukuran serba besar. Karena dulunya, semua peralatan dapur tersebut memang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pekerja tambang yang jumlahnya ribuan.
Dulu, kawasan yang berada di perbatasan Kelurahan Air Dingin dengan Kelurahan Tanah Lapang, Kota Sawahlunto itu, merupakan dapur umum. Kini, bekas dapur umum yang telah berdiri semenjak tahun 1918 itu, dimanfaatkan menjadi museum, yang dinamai Museum Gudang Ransum.
Baca Juga : SKB 3 Menteri Terkait Pemakaian Seragam siswa Perlu Ditinjau Ulang
Berbagai peninggalan bersejarah di zaman kolonial Belanda, terkait kegiatan penambangan batubara, yang menjadi saksi sejarah perjalanan kota seluas 275,9 kilometer persegi itu, kini menjadi bagian dari koleksi Museum Gudang Ransum.
Bekas dapur umum atau Museum Gudang Ransum ini merupakan bagian dari komplek perumahan karyawan tambang, rumah sakit, serta gudang penyimpanan bahan pokok kebutuhan karyawan.
Baca Juga : Jangan Ikuti! Iblis Penebar Hoaks Pertama
Melalui Museum Gudang Ransum inilah dulunya, segala kebutuhan dan pasokan makanan sehari-hari bagi ribuan pekerja tambang, keluarga karyawan, serta pasien rumah sakit, diolah, dimasak dan didistribusikan.
Agaknya itu pula yang membuat peralatan masak di sana berukuran besar. Bayangkan saja, setiap harinya hampir 4 ribu kilogram beras harus diolah, dimasak dan dibagikan ke ribuan karyawan yang terkait dengan pertambangan batubara di kota tambang.
Baca Juga : Surau Inyiak Djambek, Warisan Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam
Tidak hanya peralatan masak berupa kuali dan periuk saja yang berukuran besar, di bagian belakang museum, juga berdiri mesin penyuplai uap panas pembakaran berukuran besar, buatan Jerman.
Peran dapur umum kala itu memang terbilang besar. Semua pembangunan gedung yang kini dinilai memiliki sejarah, serta menjadi bagian penting dari pengembangan pariwisata heritage, tidak terlepas dari keberadaan dapur umum, yang memasok kebutuhan makanan untuk para pekerjanya.
Baca Juga : Prabowo dan Habib Rizieq
Dapur umum itu digunakan sebagai dapur umum bagi pegawai tambang hingga tahun 1945. Begitu di era kemerdekaan, dapur umum beralih fungsi untuk memenuhi kebutuhan makanan tentara.
Berselang lima tahun di antara 1950 hingga tahun 1960, bekas dapur umum beralih fungsi menjadi kantor administrasi bagi perusahaan Tambang Batubara Ombilin. Kini semua peralatan yang ada di bekas dapur umum itu memang tidak lagi berfungsi.
Semua peninggalan yang serba jumbo itu, kini menjadi daya tarik bagi wisatawan, khususnya wisata sejarah ataupun wisatawan pendidikan. Karena itu, keberadaan Museum Gudang Ransum ini terbilang sangat penting.
Kasi Registrasi Penetapan dan Permuseuman Kantor Museum dan Peninggalan Bersejarah Sawahlunto, Adrial, mengungkapkan, kunjungan wisatawan ke Museum Gudang Ransum rata-rata mencapai 1.500 orang lebih setiap bulan.
Mereka yang berkunjung, didominasi para pelajar baik dari dalam maupun luar Sawahlunto, rombongan keluarga, dan wisatawan asing yang kebanyakan orang Belanda. Para wisatawan melihat dan belajar akan sejarah Sawahlunto.
“Wisatawan Museum Gudang Ransum ini datang berkunjung untuk belajar. Sedangkan wisatawan asing, khususnya dari Belanda kebanyakan mencari informasi tentang sejarah perjalanan nenek moyang mereka,” ungkap Adrial.
Bagi wisatawan, keberadaan Museum Gudang Ransum sebagai jendela ke masa lalu. Sebab, di sana tidak hanya peninggalan bersejarah saja yang tersimpan. Namun juga didukung dengan berbagai audio visual, yang bisa mengantarkan wisatawan ke masa silam.
Hendri (41), salah seorang wisatawan asal Kota Padang, yang datang bersama istri dan dua anaknya, mengaku memboyong keluarganya untuk melihat langsung suasana Museum Gudang Ransum.
Bagi Hendri bersama dua anaknya Rosi (11) dan Dini (8), Gudang Ransum memiliki nilai sejarah yang luar biasa. Apalagi, museum ini juga memiliki beragam koleksi tempo dulu, yang menceritakan betapa sulitnya para pekerja tambang bekerja mendapatkan batubara.
“Awalnya kami ke Danau Kandih, Puncak Cemara dan kepalang tanggung, saya juga bawa anak-anak melihat sejarah kota tambang Sawahlunto ke museum ini,” ujar Hendri.
Tidak hanya Hendri, Rusman (55) juga membawa anak bungsunya Wahyu (15), untuk berkunjung ke Museum Gudang Ransum Sawahlunto. Wahyu yang kebetulan pernah menetap di Sawahlunto semasa remajanya melihat, Sawahlunto mengalami kemajuan yang pesat.
“Sawahlunto berubah sangat jauh. Museum Gudang Ransum ini memperlihatkan betapa berbedanya kota ini dibandingkan dengan perkembangan yang ada hari ini. Mudah-mudahan sejarah ini tetap bisa dijaga,” tambahnya.
Di lahan seluas 6 ribu meter persegi, yang kini ditempati Gudang Ransum, juga berdiri Iptek Center dengan beragam penemuan maupun hasil penelitian, yang dapat menjadi pelajaran bagi para siswa dan pelajar.
Selain itu juga ada galeri epnografi atau galeri pakaian adat dari berbagai nagari maupun suku yang ada, galeri Malaka yang memuat beragam informasi tentang kepariwisataan di Malaka Malaysia.
Saat ini, Pemerintah Sawahlunto juga sedang merencanakan pembangunan galeri pusaka kota, yang berisi profil kota Sawahlunto melalui media audio visual, dengan memanfaatkan kawasan basement bangunan bekas dapur umum itu. (h/*).
Laporan: FADILLA JUSMAN