Maret adalah bagian penting dalam perjuangan anti diskriminasi rasial di dunia. Pada tanggal ini, tepatnya tahun 1966, Dewan Keamanan PBB menjadikan hari tersebut sebagai hari penghapusan diskriminasi rasial sedunia atau International Day for the Elimination of Racial Discrimination untuk memperingati tragedi Sharpeville.
Tragedi ini memicu pelanggaran HAM, dimana menurut laman History, sedikitnya 69 orang dilaporkan tewas dan 180 lainnya terluka. Para demonstran memprotes larangan yang dibuat pemerintahan kulit putih Afrika Selatan, yang melarang perjalanan warga non-kulit putih. Perjuangan masyrakat non-kulit putih di Afrika dimulai dari tragedi ini. Sebuah gerakan yang menuntut perubahan atas ketidakadilan. Munculnya perjuangan ini, tidak terlepas dari isu rasisme yang saat itu terjadi di Afrika.
Baca Juga : SKB 3 Menteri Terkait Pemakaian Seragam siswa Perlu Ditinjau Ulang
Isu rasisme merupakan isu global yang belum berakhir hingga saat ini. Isu ini memberikan dampak negativ bagi masyarakat dunia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rasisme atau rasialisme didefinisikan sebagai (1) prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda; (2) paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yag paling unggul. Persoalan rasisme ini telah menyeluruh ke segala aspek kehidupan baik iu politik, dan sosial hingga memunculkan diskriminasi rasial. Orang yang mengalami diskriminasi rasial akan ditempatkan lebih rendah harkat dan martabatnya dibandingkan dengan ras yang lain dan menjadi kaum minoritas. Diskriminasi rasial ini sudah terjadi selama ratusan tahun, sepanjang sejarah manusia itu sendiri. Sejarah mencatat peperangan bisa terjadi dikarenakan isu rasisme, termasuk ekspansi dan penjajahan dimasa lampau. Kekejaman Nazi yang dilandasi oleh rasisme adalah salah satu contoh yang tidak terlupakan oleh seluruh bangsa di dunia.
Lalu bagaimana saat ini? Isu rasisme masihlah berjalan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh World Value Survey yang mengukur perilaku sosial penduduk dunia, mengklaim bahwa bangsa yang kurang toleran terhadap ras lain adalah negara-negara berkembang, salah satu yang tertinggi adalah Bangladesh. Studi tersebut dilakukan dengan menanyakan partisipan secara individual, tipe orang seperti apa yang mereka ingin untuk hidup berdampingan dalam sebuah lingkungan. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Seperti dikutip dari Dailymail, Indonesia merupakan salah satu negara yang belum menoleransi hadirnya ras bangsa lain. Dimana, Indonesia memiliki populasi sekitar 30-39,9% yang menolak bertetangga dengan bangsa asing. Mengapa demikian?
Baca Juga : Jangan Ikuti! Iblis Penebar Hoaks Pertama
Indonesia merupakan negara yang multikultur. Berbagai keberagaman baik itu ras, suku maupun agama tumbuh dan berkembang di Indonesia. Hidup dalam keberagaman memanglah tidak mudah, terdapat perbedaan pendapat dan pandangan didalamnya. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa sebagian populasi Di Indonesia menolak untuk hidup berdampingan dengan bangsa lain. Keberagaman masyarakat Indonesia memang dapat menjadi berkah karena menghadirkan mozaik kebudayaan yang indah dalam rangkaian Bhineka Tunggal Ika. Akan tetapi, ternyata berkah itu bersanding dengan musibah sehingga kepluralistikan masyarakat Indonesia lebih banyak menjadi pekerjaan rumah daripada berkah.
Menelisik Indonesia tempo dulu, diskriminasi rasial telah menjadi bagian dai pelanggaran HAM. Pada masa pemerintahan Orda Lama dan Orde Baru, etnis Tionghoa mendapat perlakuan yang buruk. Banyak kebijakan-kebijakan pemerintah yang menghalangi akses dari entis Tionghoa untuk hidup di Indonesia secara layak. Seperti, pelarangan etnis Tionghoa untuk memiliki tanah di pedesaan. Persoalan etnis inipun menjadi turun temurun dalam perkembangan masyarakat Indonesia. Hal yang signifikan adalah pengaruh rasisme ini dalam perpolitikan di Indonesia. Demi kepentingan politik, isu ini pun dimunculkan ditengah keberagaman masyarakat.
Baca Juga : Surau Inyiak Djambek, Warisan Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam
Masih lekat diingatan kita, bagaimana kampanye Pemilu Presiden yang lalu. Isu-isu rasisme dimunculkan, dari mulut kemulut, melalui media sosial, bahkan media cetak dan eletronik. Entah bersumber dari informasi yang benar atau tidak, tetapi isu itu cukup untuk meresahkan dan memunculkan gesekan. Jika kita lihat saat ini, isu seperti itu masih saja sama. Untuk Pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang, isu rasisme masih menjadi senjata dalam pertarungan kepentingan politik. Ahok yang merupakan etnis Tionghoa masih diganggu oleh isu rasisme. Untuk hal berbau politik, memang isu rasisme ini sangat mengambil perhatian masyarakat banyak. Ini merupakan bentuk diskriminasi rasial.
Dalam aspek sosial, jika kita melihat perkembangann saat ini, untuk kasus rasisme sering kali dijadikan sebagai guyonan. Tidak jarang ditemui, seperti di lingkungan kampus, isu rasisme menjadi bahan tertawaan antar teman. Selagi pihak yang ditertawakan dapat menerimanya sebagai guyonan, hal tersebut bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Akan tetapi, guyonan seperti ini seringkali dilakukan dan tanpa disadari akhirnya membentuk pribadi anak bangsa yang suka mengejek dan mengucilkan. Guyonan tersebut telah membudaya dan sulit dilepaskan. Padahal, guyonan seperti itu dapat dikatakan sebagai diskriminasi tidak langsung. Misalnya, guyonan untuk warna kulit, suku bahkan agama dengan segala tatacara peribadatannya. Hal tersebut dialami oleh kelompok minoritas dalam suatu lingkungan. Untuk aspek sosial seperti ini, isu rasisme menjadi hal “lumrah” dalam masyarakat kita.
Baca Juga : Prabowo dan Habib Rizieq
Indonesia dengan keberagaman perlu untuk memperjuangkan sebagai sebuah negara tanpa diskriminasi. Dalam buku Denny JA, dituturkan rahasia dimana Amerika Serikat terbebas dari diskriminasi. Terdapat dua faktor penting dalam penyelesaian kasus diskriminasi. Fakor yang pertama adalah infrastruktur yang berupa peraturan perundang-undangan dan segala bentuk aturan lainnya. Faktor infrastruktur ini menyumbang 55% penyebab sebuah negara bisa terbebas dari diskriminasi. Selain fakor infrastruktur, juga dibutuhkan sosok pelaku atau tokoh yang memberantas diskriminasi, faktor ini menyumbang 45%. Untuk faktor pertama, Indonesia memilki UU No 40 tahun 2008 yang mengatur tentang diskriminasi ras. Melalui UU ini ada jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan persamaan hak. Mungkin untuk selanjutnya adalah penegakan hukumnya yang lebih tegas. Untuk faktor kedua, yang dibutuhkan adalah tokoh seperti pemimpin yang dapat memahami kondisi majemuk di dalam masyarakatnya. Untuk ini, kita pernah punya seorang Gusdur sebagai bapak pluralisme. Kita berharap akan ada Gusdur lain yang akan bermunculan.
Hal lainnya yang bisa membantu adalah memberikan pendidikan anti rasisme dan membiasakan budaya tanpa diskriminasi. Hubungan antar kedua hal tersebut adalah baik untuk masyarakat kita. Pendidikan anti rasisme sejak dini dapat diajarkan baik dalam keluarga, sekolah maupun lingkungan. Dengan memberikan pengajaran dan pemahaman yang baik sejak dini, maka anak-anak bangsa akan mengerti dan mulai untuk tidak menjadikan hal tersebut sebagai guyonan yang tidak berarti. Dengan demikian, anak bangsa yang suka mengejek dan anak bangsa yang terkucilkan dapat kita hindarkan. Selain itu, media massa termasuk penyiaran acara ditelevisi sebaiknya lebih kepada hal-hal yang bemanfaat, termasuk cerdas dalam menggunakan media sosial yang seringkali memancing keributan.
Rasisme telah turun-temurun dan menjadi doktrin yang membentuk pola pikir dalam masyarakat. Karena itu, untuk mengatasi diskriminasi rasial dalam masyarakat, yang perlu dilakukan adalah merubah pola pikir masyarakat kita bahwa suatu perbedaan termasuk warna kulit, bentuk wajah dan hal sejenis lainnya merupakan ciptaan dari Yang Maha Esa dan bukan menjadi kualifikasi atas orang tersebut sehingga menghasilkan ketidakadilan. Agar “ Bhineka Tunggal Ika” yang kita sebut-sebut bukan sekedar istilah tak bermakna. Dan semoga 21 maret bukan hanya sekedar hari peringatan saja tetapi perbaikan atas tindak diskriminasi rasial di dunia agar perjuangan dan gerakan sosial sebelumnya menjadi tidak sia-sia. (*)
RAHMA YENI CANIAGO
(Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional UNAND)