Awal Maret lalu, Jaksa Agung M Prasetyo mengenyampingkan perkara dua mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Dengan demikian, terhitung sudah empat mantan pimpinan KPK yang perkaranya dikesampingkan demi kepentingan umum, termasuk Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.
Pengeyampingan perkara demi kepentingan umum itu disebut dengan seponering atau lebih dikenal dengan deponering. Pemberian deponering memang salah satu ‘’hak perogratif’’ kejaksaan seperti yang telah diatur dalam Pasal 35 huruf c UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, deponering atau pengenyampingan perkara demi kepentingan umum (deponering) adalah kewenangan Jaksa Agung.
Baca Juga : SKB 3 Menteri Terkait Pemakaian Seragam siswa Perlu Ditinjau Ulang
Namun, materi subtansial didalam UU kejaksaan tersebut tidak ada penjelasan tentang kriteria apa suatu subjek yang terlibat perkara pidana, perkaranya dapat dikesampingkan demi kepentingan umum sehingga menimbulkan kerancuan.
Sebenarnya apaan sih, yang menjadi Frasa ‘’demi kepentingan umum’’ dalam kewenangan jaksa mengeluarkan deponering?. Jika merunut definisi kepentingan umum, sampai saat ini masih diperdebatkan karena belum adanya definisi yang baku.
Baca Juga : Jangan Ikuti! Iblis Penebar Hoaks Pertama
Mengacu pada definisi kepentingan umum yang dikemukan John Salindeho, secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk keperluan, kebutuhan, atau kepentingan orang banyak atau tujuan social yang luas. Namun rumusan ini terlalu luas dan tidak ada rumusan demi kepentingan umum yang berkembang di logika masyarakat ini identik prinsipnya dengan UU No. 5/1960 (UU Pokok Agraria). Merujuk pada definisi dalam UUPA tersebut yang juga belum mampu menerangkan esensi kriteria kepentingan umum secara konseptual, kepentingan umum hanya dinyatakan dalam arti ‘’peruntukannya’’ yaitu kepentingan bangsa dan negara bersama dengan kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan.
Apabila menilik penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan/atau kepentingan masyarakat luas. Walau begitu, tidak ada ketentuan lanjutan mengenai parameter atau ukuran yang jelas dari frasa “kepentingan umum” dalam penggunaan kewenangan deponering jaksa agung, sehingga rentan akan penyalahgunaan wewenang.
Baca Juga : Surau Inyiak Djambek, Warisan Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam
Kejanggalan Atau Belaskasihan
Praktik pengenyampingan perkara demi kepentingan umum tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. penggunaan wewenang pengenyampingan perkara di negara lain diatur sedemikian rupa, sehingga jelas apa saja yang menjadi parameternya.
Baca Juga : Prabowo dan Habib Rizieq
Di Jerman, pengenyampingan perkara dilakukan dengan syarat dan tanpa syarat, serta harus meminta izin hakim karena Jerman menganut azas legalitas. Sedangkan di Norwegia, masih dalam literatur yang sama, jaksa diberikan diskresi yang luas, bahkan diperbolehkan menjatuhkan hukuman di luar pengadilan. Pengenaan sanksi atau tindakan tersebut dikenal dengan sebutan patale unnlatese. Akan tetapi, untuk perkara-perkara yang lebih berat, mereka harus meminta persetujuan Jaksa Agung.
Amerika Serikat yang tidak mengenal azas oportunitas, tetapi mengenal plea bargain. Jadi, jaksa dapat mengurangi tuntutan dengan adanya pengakuan terdakwa. Para jaksa di Amerika hampir otonom dalam melaksanakan wewenang diskresi sejak awal penyidikan hingga pasca persidangan ( Sumber: Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Azas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana Tahun Anggaran 2006,)
Alasan dasar jaksa Agung mengenyampingkan perkara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto demi kepentingan umum,karena kedua mantan pimpinan KPK tersebut dikenal luas sebagai figur yang memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi.
Seharusnya, jaksa agung perlu memperhatikan proses perkara Abraham Samad dan Bambang Wijojanto yang berkas perkaranya dinyatakan lengkap (P21), layaknya diserahkan ke Pengadilan untuk di sidangkan. Secara hukum, kasus tersebut mestinya tidak dihentikan karena sudah tidak lagi menjadi ranah penuntutan. Pemberian Deponering seolah mendapat belas kasihan dari pemerintah dan Jaksa Agung.
Selain itu, terdapat antinomi antara kewenangan deponering sesuai Pasal 35 huruf c UU No.16 Tahun 2004, Deponering mesti adanya alasan kepentingan umum dengan Pasal 140 ayat (2) huruf a kitab hukum acara pidana (KUHAP), menghentikan perkara di tingkat penuntutan karena adanya kepentingan hukum. Atas dasar itulah, Jaksa Agung mesti menjelaskan letak ‘’kepentingan umum’’ dan ‘’kepentingan hukum’’ terhadap kedua kasus dua mantan pimpinan KPK itu.
Langkah mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dapat menimbulkan kecemburuan keadilan antara mereka yang tersandung kasus pidana. Bagaimana tidak, demi kepentingan bangsa dan masyarakat luas berarti para aparat penegak hukum pada umumnya bisa saja dikesampingkan perkaranya. sangkaan negatif tentu mengarah kepada penegakkan hukum tajam ke bawah, tumpul keatas. Stigma kebal hukum menguat.
Langkah deponering menunjukan bahwa Abraham dan Bambang tidak memiliki keberanian menghadapi kasus yang sedang dihadapinya, kemudian ‘’seolah-olah’’ menggunakan kewenangan Jaksa Agung untuk meminta keputusan Deponering. Padahal JPU (jaksa penuntut umum) menyatakan lengkap artinya JPU sependapat dengan Polri bahwa adanya tindak pidana.
Jadikan Pelajaran
Pemberian Deponering yang diterbitkan jaksa agung menjadi pelajaran yang tidak baik bagi penegakkan hukum di Indonesia dan perlu improvisasi bagi penegakan hukum di Indonesia ke depannya.
Seharusnya Kejaksaan sudah dapat memprediksi bahwa kasus yang melibatkan mantan ketua KPK tersebut akan diakhiri dengan Deponering dengan mengacu pada dinamika yang berkembang di tengah Masyarakat terhadap kasus yang identik dengan nama Cicak vs Buaya itu semenjak mencuak ke permukaan publik.
Oleh sebab itu, Kejaksaan seharusnya tidak perlu menyatakan berkas perkara lengkap (P21). Mengacu pada KUHAP, apabila berkas perkara telah dinyatakan lengkap, maka konsekuensi perkara tersebut telah cukup bukti dan ada fakta yang mununjukkan tindak Berkas perkara yang sudah dinyatakan P21, kemudian karena alasan ‘’demi kepentingan umum’’ diberikan Deponering oleh Kejaksaan, sama saja Kejaksaan ‘’menjilat ludah’’ sendiri dalam penegakan hukum. Seharusnya perkara tersebut diadili, sehingga terbukti atau tidaknya tindak pidana yang disangkakan penyidik kepolisian atau sebaliknya upaya kriminalisasi.
Terkahir, ketidakjelasan parameter atau kriteria ‘’demi kepentingan umum’’ dalam UU Kejaksaan, sudah seharusnya DPR bersama Presiden sebagai pelaksana fungsi legislasi untuk mengakaji penggunaan Deponering Kejaksaan dengan cara merevisi UU Kejaksaan.
Perlu juga dibuat Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur standar operasional prosedural (SOP) penggunaan wewenang Deponering. Pemberian Deponering haruslah bersifat objektif dan bukan subjektif. Fiat justitia ruat coeleum! (sekalipun langit runtuh, hukum harus tetap ditegakkan). ***
AGUNG HERMANSYAH
(Pegiat Hukum Cyber di Indonesia Cyber Law Community)