Usai sudah prosesi pelantikan para pemimpin daerah di seluruh Indonesia hasil Pilkada serentak pada 2015 lalu. Para Gubernur dilantik langsung oleh Presiden Jokowi, sementara Bupati/Walikota beserta wakilnya dilantik oleh masing-masing Gubernurnya.
Kita semua tentu menyambut dengan sukacita, mengingat proses Pilkada telah mencapai ujungnya. Rasa sukacita dibumbui oleh optimisme, dan sedikit kegamangan. Wajar, tidak ada yang akan sempurna, sebagaimana juga perjalanan kepemimpinan pejabat daerah. Tantangan pun semakin berat.
Baca Juga : SKB 3 Menteri Terkait Pemakaian Seragam siswa Perlu Ditinjau Ulang
Sungguh pun begitu, prosesi pelantikan tetap diliput, ditayangkan di hampir semua media massa, lengkap dengan advertorial, wawancara dengan pasangan yang baru duduk di ‘pelaminan politik’, harapan-harapan masyarakat, foto-foto dengan baju dinas, riwayat hidup dan komentar dari calon bawahan serta hal-hal menarik seputar pemilihan. Semuanya serba wah dan mengesankan kegembiraan dan kesukacitaan. Tidak tampak lagi konflik keras di masa kampanye, sesi debat, dan berbagai dinamika lainnya selama Pilkada.
Begitu pula bagi pasangan yang akhirnya lolos dari sidang gugatan Pilkada di Mahkamah Konstitusi (sebagai catatan, di Sumbar, selain Gubernur/wagub, ada 5 pasangan Bupati yang memenangkan gugatan di MK, yaitu Kabupaten Solok, Pasaman, Limapuluh Kota, Tanah Datar, dan Solok Selatan), tak tampak kentara lagi sisa-sisa konflik dengan pasangan yang mengajukan gugatan, yang ada hanya wajah sumringah dan umbar senyum optimis bersama dengan pasangannya masing-masing.
Baca Juga : Jangan Ikuti! Iblis Penebar Hoaks Pertama
Berangkat dari bulan madu para pemimpin hasil Pilkada 2015, tentu sangat relevan jika kita berusaha mengingatkan beberapa tantangan dan peluang yang akan ditempuh oleh pemimpin dan yang dipimpin. Ingatan ini bisa jadi merupakan masukan yang konstruktif, apalagi jika kita mau merujuk kepada cita-cita klasik, yaitu mewujudkan tatanan masyarakat madani. Konsep masyarakat madani, setidaknya masih terngiang di telinga dan benak para pemimpin terpilih, bahkan tak jarang (pernah) dijadikan salah satu kosa kata peramai janji-janji kampanye saat mencoba merebut hati konstituen di era kampanye.
Tantangan Masyarakat Madani
Baca Juga : Surau Inyiak Djambek, Warisan Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam
Masyarakat madani sederhananya adalah masyarakat yang merujuk pada era saat NabiMuhammad SAW memimpin kota Madinah. Tema Madani pun merujuk dari asal nama Madinah. Pada masa itu, Nabi memimpin sebuah kota yang heterogen, pluralistik, majemuk, baik dari segi etnis, agama, budaya, strata sosial, maupun ekonomi dan juga politik.
Tantangan terbesar tidak hanya dalam hal mengelola perbedaan yang mencolok, namun juga godaan untuk menjalankan roda kepemimpinan secara tangan besi.
Baca Juga : Prabowo dan Habib Rizieq
Bagaimanapun, disebabkan dukungan yang kuat oleh kaum Ansyardan Muhajirin, Nabi punya potensi untuk memimpin secara otoriter. Namun godaan itu ditepis, pemerintahan Madinah dijalankan dengan prinsip demokrasi egalitarian yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan serta supremasi hukum. Kontrol ketat terhadap birokrasi dijalankan dengan seobjektif mungkin. Ada riak, namun apa pun dinamikanya diselesaikan secepat mungkin dan seefektif mungkin. Komunikasi antara Nabi dengan rakyat berjalan secara interaktif- partisipatif. Posisi Muhammad bukanlah sebagai raja, namun lebih sebagai grand-manager Madinah.
Model kepemimpinan Madinah kemudian cepat terkenal, menjadi rujukan model pemerintahan modern. Prinsip-prinsip humanisme seorang pemimpin kemudian diserap menjadi cikal bakal teori kepemimpinan yang kemudian entah bagaimana menjadi barat-sentris. Buku-buku kepemimpinan menjual nama-nama mentereng dari dunia barat, seolah-olah seluruh konsep kepemimpinan yang ideal adalah racikan dan tumbuh di dunia barat. Sebaliknya, timur atau Asia dan kontinen di luar Eropa-Amerika, (terkesan) hanya mengadopsinya.
Membuka Ruang Publik
Teoritikus sosio-politik termasyhur seperti Antonio Gramsci sudah lama berhipotesis bahwa masyarakat madani sangat bergantung pada disediakan atau tidaknya sebuah ruang atau pentas bagi pertarungan berbagai ide, gagasan, atau ideologi. Oleh sebab itu, masalah demokrasi dan masyarakat madani tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan tentang komunikasi politik (Piliang, 2005: 117). Sebaliknya, bisa disimpulkan, cita-cita dan nilai-nilai yang diperjuangkan masyarakat madani akan nihil diraih manakala pemimpinnya menutup ruang relasi sosial baik vertikal maupun horizontal di tengah masyarakat.
Lebih jauh, begitu pentingnya komunikasi politik, sehingga Jurgen Habermas (1981) pernah mengatakan bahwa ruang publik adalah kunci timbulnya daya kreatif masyarakat, sehingga berbagai program pencerahan yang dilancarkan pemimpin bisa terlaksana dengan efektif. Banyak contoh bisa kita lihat, kota atau kabupaten dan provinsi yang pemimpinnya membuka ruang untuk terjalinnya komunikasi intensif antara pemimpin dengan rakyat, timbal-balik, dengan cepat melakukan akselerasi peningkatan kualitas kehidupan sosial-kemasyarakatan serta partisipasi politiknya.
Prasyarat kedua bagi hidupnya masyarakat madani adalah lenyapnya feodalisme sebagai ideologi tunggal. Sebaliknya, feodalisme akan terkikis dengan sendirinya bila daya kritis dan kreatif masyarakat dibuka. Yasraf Amir Piliang dalam bukunya, Transpolitika (2005) mengatakan, bahwa untuk membuka semuanya itu, perlu diciptakan medan komunikasi terbuka, termasuk komunikasi politik. Ini menyiratkan risiko dari masih berkembangnya feodalisme yang menghinggapi pola kepemimpinan level nasional dan lokal di negara kita yang (kuat dugaan) masih belum hilang sempurna.
Jika kedua prasyarat utama itu dapat secara serius ditata dan dijadikan modal utama dalam memimpin, maka diyakini para pemimpin di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota akan mendapatkan banyak manfaat yang berguna sebagai kunci untuk menjalankan aktivitas kepemimpinannya. Komunikasi yang melibatkan semua pihak sebagai peserta aktif seraya mengeliminasi itikad yang bersembunyi dalam pola feodalisme akan menghantarkan ruang yang sangat nyaman bagi seluruh komponen. Kenyamanan kemudian akan memberi kesadaran untuk terus melakukan kewajiban dan terobosan positif.
Komunikasi Partisipatif-Interaktif
Kita tidak butuh pemimpin yang meniru Jokowi, blusukan dan bertemu rakyatnya setiap hari. Akan sia-sia, kalau semua itu hanya demi pencitraan politik dan tugas yang seharusnya dilakukan untuk membenahi berbagai persoalan pun ternyata tidak semuanya bisa diselesaikan di lapangan. Pemimpin yang ideal adalah yang mampu menyeimbangkan kapan saat ia harus terjun langsung ke tengah masyarakat, kapan harus bernegosiasi dengan seluruh jajaran pembantunya di meja rapat serta mencari jalan terbaik menyikapi berbagai masalah sesuai kapasitas dan insting kepemimpinannya.
Kita butuh pemimpin yang anti terhadap gejala seduksi politik. Seduksi politik adalah usaha bujuk rayu dalam kerangka politik yang dilancarkan oleh para pejabat dan/atau pemimpin nasional maupun lokal. Rakyat lebih dianggap sebagai objek rayuan yang tujuan utamanya adalah segala hal yang berbau kepentingan ekonomi-politis belaka dari perayunya, yaitu pemimpin (baca: pejabat daerah). Sungguh, jika ini terjadi (lagi), maka manusia yang berada di balik jabatannnya itu aslinya adalah perampok dan koruptor kelas kakap yang sedang memainkan peran dan topengnya sebagai pemimpin.
Peran masyarakat yang kritis, yang tidak ingin masuk ke dalam mayoritas diam, yang pasrah menerima dan menonton ulah pemimpinnya yang tidak cemerlang, bahkan menjebak rakyatnya di ruang kemunduran, sangatlah diharapkan. Namun, itu bisa terjadi, sekali lagi, berdasarkan inisiatif dari sang pemimpin. Pemimpin era milenium ketiga adalah pemimpin yang sadar, bahwa komunikasi politik yang partisipatif-interaktif adalah ciri utama pola kepemimpinannya. Ciri itu diwujudkan sehari-hari ke dalam kepedulian untuk berbagi dan menerima informasi.
Tanpa bermaksud angkat telur, kita bisa mencontoh pada pola yang dijalankan Ridwan Kamil (RK) dalam memimpin Bandung. Pendekatan persuasifnya via media sosial membuatnya masuk ke dalam kategori pemimpin era milenium ketiga yang berhasil mempraktikkan komunikasi partisipatif-interaktif secara konkrit. Diprovinsi kita, tentu Gubernur/Bupati/Walikota tidak harus menjadi RK. Pemimpin harus punya cara dan keunggulan tersendiri dalam membangun komunikasi politik yang elegan dan efektif menyiasati seluruh persoalan, sesuai karakteristik sosiokultural daerahnya. (*)
MOHAMMAD ISA GAUTAMA
(Pengajar Komunikasi Politik, Fakultas Ilmu Sosial-Universitas Negeri Padang)