Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, pemerintah memang sudah seharusnya menanggung biaya pendidikan bagi semua warga negara tanpa membedakan antara si kaya dan si miskin. Karena itu, penyediaan sekolah gratis bagi semua warga negara jauh lebih mendasar ketimbang pemberian subsidi silang kepada siswa dari kalangan miskin.
Guru besar Universitas Sarjanawiyata Perguruan Taman Siswa Prof Dr Ki Supriyoko, pengamat pendidikan Darmaningtyas, dan aktivis Koalisi Pendidikan Lodi Paat, berpendapat pengalihan dana kompensasi bahan bakar minyak (BBM) berupa pembebasan pendidikan kepada siswa yang berasal dari keluarga miskin .
Baca Juga : SKB 3 Menteri Terkait Pemakaian Seragam siswa Perlu Ditinjau Ulang
Sebelumnya, Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Muhammad Ikhsan menggagas bahwa penyaluran dana kompensasi BBM tersebut hendaknya menjamin bahwa semua anak usia sekolah dari kalangan miskin terbebaskan dari biaya pendidikan. Agar sinergi dengan Program Wajib Belajar 9 Tahun, prioritas utamanya adalah jenjang SD-SLTP (Kompas, 15/2).
Sayangnya, pendidikan di dearah belum semuanya sempurna baik mutu, tenaga pendidik, prasana dan sarana di sekolah.Hal itu belum seimbang dengan kebijakan yang ada. Jika kebijakan itu benar-benar dilaksanakan, maka proyek besar-besaran di daerah akan semakin meningkat, tertama proyek pembangunan fisik sekolah dengan memperbaiki, menambah SMA/SMK.
Baca Juga : Jangan Ikuti! Iblis Penebar Hoaks Pertama
Memang tak apalah perbaikan SMA dan SMK yang rusak di daerah sekolah daerah tertinggal, namun tak haruslah dengan kebijakan wajib belajar 12 tahun ini diajadikan alasan untuk memperbaiki sekolah yang rusak. Karena nanti pulalah kebijakan baru ini pastinya akan menimbulakan korporasi pendidikan baik untuk penyelenggaran Ujian Nasional, penambahan fasilitas sekolah hal ini tentu akan menjadi pembekakan dana secara nasional terlebih lagi jika itu dibebankan kepada orang tua siswa.
Selain rusaknya fasilitas pendidikan pada pemerintahan di daerah yang rusak, secara akademik cita-cita pendidikan gratis itu kini menimbulkan beban baru, terutama jika dikaitkan dengan rencana pemerintah memindahkan kewenangan daerah akan pendidikan tingkat SMA/SMK sederajat.
Baca Juga : Surau Inyiak Djambek, Warisan Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam
Beban tersebut jelas harus diterima, dengan kondisi yang masih compang camping. Kemampuan daerah yang terbatas, dengan APBD yang juga tak seberapa membuat pemerintah untuk berinovasi, agar target pendidikan gratis itu tak tergelincir.
Sebelum terdorong pada beban yang menggumpal, ada baiknya pemerintah menyiapkan regulasi dan payung hukum agar pemerintah daerah bisa berkreaksi mencari tambahan dana. Tapi, ini bisa saja jadi boomerang jika penggunaannya tak terkontrol. (*)
Baca Juga : Prabowo dan Habib Rizieq