Autisma adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks. Dengan kehadiran anak autisma di tengah keluarga berbagai reaksi orangtua sebagai ungkapan dari apa yang mereka rasakan. Sering orangtua merasa bersalah pada saat anak mereka divonis. Rasa takut bagaimana mereka harus menjalani hari-harinya. rasa cemas akan masa depan.
Vonis keluarga besar, rekan sejawat dan lingkungan menambah beban yang tidak kalah hebat disamping kelahiran anak autisma itu sendiri. Sulit untuk menerima kenyataan merupakan reaksi orangtua saat pertama mengetahui bahwa anaknya terlahir sebagai anak autisma. Mereka membutuhkan waktu yang lama untuk terus berjuang. Ada beberapa tahapan yang dilalui dikehidupan mereka sampai pada sebuah penerimaan kenyataan bahwa anak autisma mesti dihadapi dengan penyesuaian diri. Karena hanya dengan cara itu orangtua dapat menjalani proses hidup yang konstruktif.
Baca Juga : SKB 3 Menteri Terkait Pemakaian Seragam siswa Perlu Ditinjau Ulang
Penerimaan merupakan fase dimana keluarga sudah menerima kenyataan baik secara emosi maupun intelektual walaupun bukan berarti keluarga akhirnya bahagia namun keluarga hanya sudah dapat menerima kenyataan. Untuk penerimaan terhadap kelahiran anak autisma keluarga melalui beberapa fase dikehidupan mereka. Menurut Kubler Ross dalam Santrock (2012) Manusia memiliki reaksi tertentu dalam menghadapi cobaan hidup yaitu; penolakan, marah, menawar, depresi, dan menerima. Penolakan merupakan bentuk mekanisme pertahanan pada diri seseorang baik secara sadar maupun tidak sadar dalam menyangkal kenyataan, namun biasanya hanya bersifat sementara. Pada tahap ini orang akan berusaha menyangkal dengan meyakinkan diri. Kemarahan timbul saat penolakan tidak dapat dilanjutkan. Kemarahan bisa ditumpahkan pada diri sendiri atau orang lain (khususnya dengan orang dekat). Tawar-menawar, tahap ini termasuk harapan untuk mendapatkan keringanan. Depresi, tahap ini menunjukkan bahwa seseorang mulai menerima situasi, namun masuk dalam kesedihan yang mendalam dan ditunjukkan dengan sikap diam, menyendiri dan menangis. Penerimaan merupakan tahap menerima, namun berbeda dengan keadaan depresi walaupun juga bukan berarti orang tersebut akhirnya bahagia. Ia hanya sudah dapat menerima kenyataan.
Penerimaan terhadap kehadiran anak autisma ditengah keluarga tidak saja secara emosi ataupun intelektual, namun ada suatu usaha untuk penyembuhan mereka serta merubah pandangan dan harapan orangtua terhadap anak sesuai dengan kapasitas mereka.
Baca Juga : Jangan Ikuti! Iblis Penebar Hoaks Pertama
Pengasuhan anak autisma di tengah keluarga
Pengasuhan anak dimulai sejak terjadinya kehamilan. Kondisi ibu ketika hamil sangat mempengaruhi perkembangan janin yang ada dalam kadungan sang ibu. Banyaknya persoalan yang dihadapi ibu akan membuat ibu kelelahan, cemas dan selalu siaga. Kondisi yang tidak baik ini dapat menghambat perkembangan dan bahkan mengganggu perkembangan yang akan datang. Penelitian yang dilakukan oleh Bittman dan Zalk dalam Dagun (2013) menemukan bukti-bukti bahwa perhatian seorang ayah terhadap istri yang sedang hamil akan membawa dampak pada sikap bayi. Allen dan Marotz (2010) mengungkapkan bahwa Stres pada ibu hamil membawa efek yang berbahaya bagi janin karena dapat mengurangi kecepatan bernafas, detak jantung dan aktifitas bayi.
Baca Juga : Surau Inyiak Djambek, Warisan Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam
Kedua penelitian ini mengungkapkan bahwa perhatian dari ayah kepada ibu selama kehamilan ikut mendorong perkembangan calon bayi. Sekalipun kondisi ibu berhubungan secara lansung dengan anak, namun sikap ayah tidak bisa diabaikan, sikap ayah menjadi penting karena berpengaruh terhadap kondisi ibu.
Proses saat melahirkan juga menjadi perhatian khusus bagi ayah dan ibu dalam memberikan pengasuhan sejak dini pada anak. Proses persalinan dapat terjadi lebih dini, tepat waktu atau melebihi dari waktu perkiraan. Bisa berdurasi panjang atau pendek. Dan dapat terjadi dengan atau tanpa komplikasi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hennenborn dan Cogan dalam Dagun (2013), menyatakan wanita yang didampingi suaminya sampai tahap akhir mengalami sedikit penderitaan dan kurang membutuhkan banyak obat. Mereka lebih merasakan pengalaman yang positif dari peristiwa kelahiran. Berbeda dengan kelompok ibu yang yang didampingi tahap awal saja. Entwisle dan during dalam Dagun (2013) membandingkan suami yang mendampingi istri dan suami yang tidak terlibat. Ternyata keterlibatan suami menambah emosi yang positif pada istri. Hurlock (2010) menyatakan sikap orang tua yang kurang menyenangkan, apapun alasannya, hal ini akan tercermin dalam perlakuan terhadap bayi yang akan menghalangi keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan pascanatal. Faktor penting yang menyebabkan bayi tidak tenang atau gelisah adalah tekanan berat yang dialami ibu dalam waktu lama.
Baca Juga : Prabowo dan Habib Rizieq
Berbagai prilaku yang ditunjukkan bayi pada saat beberapa hari mereka setelah lahir, ada yang tidur dengan tenang, namun ada juga bayi matanya begitu sibuk, dan sedikit sekali tidur. Prilaku bayi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi orangtua mereka. Penelitian dilakukan oleh Wolman serta peneliatian Parke dalam Dagun (2013) mengungkapkan ada kaitan yang jelas antara situasi emosional ibu dengan prilaku bayi setelah lahir. Penelitian yang dilakukan di Boston diperlihatkan bahwa bayi usia tiga hari, yang menunjukkan sikap relaks ternyata berkaitan erat dengan situasi emosional ibu pada masa kehamilan. Ini segera dapat dilihat, apakah si bayi cepat tersinggung dan bagaimana ia menanggapi situasi yang secara mendadak berubah.
Dari penelitian tersebut dapat tergambar dengan jelas bahwa pengasuhan anak yang dimulai sejak dini perlu menjadi perhatian bagi keluarga. Karena berdampak secara lansung terhadap prilaku anak sepanjang rentang perkembanggannya.
Ketika prilaku autistik pada anak semakin jelas terlihat. Orang tua akan mengalami ketakutan yang begitu hebat, selama keadaan itu tidak dihadapi secara serius ketakutan itu tidak akan hilang. Pada saat seperti ini orang tua atau keluarga memerlukan orang lain untuk menolongnya. Keluarga besar, teman, dokter, psikolog ataupun psikiater diharapkan dapat memerikan bantuan terbaik pada keluarga. Mereka memerlukan informasi yang jelas apa yang terjadi pada anak mereka, tindakan apa yang harus mereka lakukan serta dukungan dari orang-orang terdekat.
Penelitian Linda Mason dari Antioch University Seattle Washington (2012) menemukan stres yang dialami saat membesarkan anak autis menghasilkan dalam tiga temuan utama: isolasi, mengatasi perilaku menantang, dan frustrasi dengan perkembangan anak. Selain itu, beberapa ibu dikomunikasikan penyebab stres merawat anak autisma mereka mencakup masalah perkawinan, kelelahan, dan kesedihan. S Ginanjar (2008) mengatakan begitu banyak masalah yang dihadapi dalam waktu bersamaan bisa memunculkan stres berlebihan. Kondisi ini amat merugikan karena berakibat negatif secara fisik dan menimbulkan berbagai gangguan emosi seperti kecemasan, depresi, kemarahan, atau menarik diri dari lingkungan.
Pengetahuan dan dukungan yang cukup akan membantu keluarga dalam menetukan pola pengasuhan yang tepat bagi anak mereka. Keluarga memerlukan waktu untuk dapat bangkit dan keluar dari persoalan dirasakannya. Fase penolakan, kemarahan, dan depresi akan dilalui. Setiap keluarga membutuhkan waktu yang berbeda untuk melewatinya setiap fasenya. Namun keluarga harus dapat keluar dari berdukanya agar bisa menolong anak mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Mariann Krausz dari York University dan Judit Meszaros dari Semmelweisz University (2013) Dia menggambarkan pengalaman ini berkabung dari orangtua anak dengan kecacatan perkembangan sebagai salah satu yang tidak pernah sembuh total. Sebaliknya, ada periode kesedihan akut sering dipicu oleh tonggak perkembangan utama yang membangunkan kembali perasaan kehilangan yang menyakitkan. Ia telah mengemukakan bahwa orangtua dari anak penyandang cacat harus pergi melalui proses berduka (penolakan, tawar-menawar, kemarahan, depresi, dan penerimaan) untuk mampu untuk merencanakan secara realistis untuk masa depan keluarga mereka.
Dalam menentukan pola pengasuhan dan penanganan yang tepat unsur utama yang harus diperjuangkan orang tua adalah keluar dari masa berduka. Selanjutnya merancang langkah-langkah yang akan mereka lakukan untuk membantu perkembangan anak autisma. Penerimaan keluarga akan keberadaan anak autisma akan membatu orang tua untuk membuat rencana yang realistis untuk anaknya. Meningkatkan kesadaran dan penerimaan terhadap anak autisma penting karena masalah anak autisma harus dihadapi dengan kesadaran akan pemenuhan kebutuhan dan memperbaiki layanan atau pola pengasuhan.
Pengasuhan anak autisma tidak dapat dilakukan oleh keluarga sendiri. Agar orangtua dapat memberikan pengasuhan dan penanganan yang baik untuk anak mereka serta mengurangi tekanan yang dihadapi, keluarga memerlukan kelompok pendukung. Kelompok pendukung ini bisa teman, keluarga besar, para ahli atau siapa saja yang terpenting mempunyai satu tujuan yang sama dengan keluarga dalam merancang dan merencanakan masa depan anak autisma.
Dukungan masyarakat luas sangat dibutuhkan keluarga autisma. Silap diskriminatif, persepsi yang didominasi oleh prasangka yang merusak, kebiasaan dan asumsi-asumsi yang salah, akan membuat keluarga ini menjadi lebih berat dalam menjalani kehidupan mereka. Mereka membutuhkan penerimaan yang wajar, cara pandang yang positif, saling mengerti satu sama lain serta sikap persahabatan yang mendukung. Menjadi bagian masyarakat yang inklusif akan dapat membantu keluarga yang memeliki anak berkebutuhan khusus untuk menjalani kehidupan sosial secara wajar dan secara tidak lansung telah membantu meringankan kehidupan mereka. ***
RIDA HAYANI, M. PD
(Sekolah Berkebutuhan Khusus Wacana Asih Padang)