Bagi masyarakat Minangkabau, warung kopi tidak sekadar tempat minum kopi. Warung kopi di Ranah Minang memiliki banyak fungsi, antara lain sebagai tempat diskusi, baik politik, agama, sosial, budaya, dan ekonomi.
Kemudian, sebagai sumber informasi tentang segala sesuatu yang terjadi di lingkungan, mulai dari tempat terkecil, seperti kampung, kecamatan, kabupaten, provinsi, sampai yang terjadi di negara, bahkan dunia.
Baca Juga : SKB 3 Menteri Terkait Pemakaian Seragam siswa Perlu Ditinjau Ulang
Dengan demikian, keberadaan warung kopi di Minangkabau adalah sesuatu yang penting. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di Minangkabau terdapat banyak warung kopi dan selalu ramai pengunjung.
Minangkabau adalah salah satu bagian etnis Melayu. Sepertinya kebiasaan minum kopi merupakan tradisi masyarakat Melayu. Wajar saja jika di daerah-daerah Melayu banyak terdapat warung kopi. Belitung, sebagai salah satu daerah Melayu, juga terdapat banyak warung kopi. Hal itu tergambar dalam novel Andrea Hirata “Maryamah Karpov” (Bentang Pustaka: 2008).
Baca Juga : Jangan Ikuti! Iblis Penebar Hoaks Pertama
Warung kopi yang dulu identik dengan warung tradisional, sudah bertransformasi menjadi warung yang modern dengan segala konsep yang baru selama beberapa waktu belakangan. Warung kopi tidak identik lagi dengan orang-orang tua, tapi juga menjadi tempat nongkrong anak-anak muda, tidak lagi menjadi tempat berkumpul orang-orang kampung, tapi juga menjadi tempat diskusi pejabat, pengusaha, dan orang-orang kelas menengah ke atas lainnya.
Dari penjabaran di atas, keberadaan warung kopi sebagai salah satu sumber informasi, menjadi tempat favorit bagi wartawan, baik untuk minum sendiri maupun berkelompok. Saat minum kopi berkelompok, para wartawan dapat saling bertukar informasi yang bisa dikembangkan menjadi berita. Selain itu, juga untuk mendiskusikan sebuah topik berita atau masalah yang akan dipeecahkan bersama-sama. Sementara ketika minum kopi sendiri tujuannya bagi wartawan adalah untuk mendapatkan informasi dari orang-orang yang duduk di kedai kopi tersebut.
Baca Juga : Surau Inyiak Djambek, Warisan Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam
Wartawan mendapatkan informasi yang berlimpah di warung kopi karena warung kopi meleburkan segala perbedaan. Informasi yang bersifat rahasia, kadang terlontar melalui obrolan di warung kopi. Meleburnya segala perbedaan di warung kopi karena warung kopi sama seperti smoking area. Cerpenis Phutut EA dalam artikel berjudul “Menjadi Manusia di Smoking Area” menulis, di sana orang bertegur sapa, berkomunikasi, meminjam korek, bertanya hendak ke mana, kalau sudah mulai akrab berkisah tentang bisnis mereka, mengomentari tayangan-tayangan di layar televisi, berseloroh, kadang ada perdebatan kecil. Di ruangan yang sering diplesetkan sebagai burning area karena tempatnya yang sengaja dibuat sangat kecil sehingga penuh asap, mereka tampil dengan melepaskan semua atribut. Tidak peduli direktur atau karyawan, selebritas atau wartawan, intelektual atau budayawan, semua membaur. (mojok.co, 14 September 2014).
Demikian pula di warung kopi, semua sekat menghilang. Obrolan mengalir lancar. Orang-orang bicara ceplas-ceplos. Di sana, wartawan bisa mendengarkan keluhan masyarakat dan menjadikannya potongan bahan berita untum dikembangkan.
Baca Juga : Prabowo dan Habib Rizieq
Masing-masing kedai kopi adalah tempat favorit bagi tiap-tiap orang. Orang yang tak suka minum kopi pun sering duduk di warung kopi, selain untuk tujuan pergaulan, juga untuk minum, sebab di warung kopi juga dijual minuman lain seperti teh, teh telur, dan susu. Oleh karena itu, di samping warung kopi yang pengunjungnya terdiri dari berbagai kalangan, ada kedai kopi yang ditongkrongi oleh kelompok atau komunitas tertentu.
Ada kedai kopi tempat berkumpul kalangan menengah ke atas seperti pengusaha, pejabat di pemerintah daerah, anggota DPRD, dan kalangan menengah ke atas lainnya. Warung kopi demikian menjadi tempat potensial bagi wartawan untuk mendapatkan informasi, sekecil apa pun bentuknya. Wartawan yang minum kopi sendiri, seperti yang penulis sebutkan di atas, sangat mungkin sering berada di warung kopi tempat banyak narasumber penting itu berkumpul.
Sambil minum kopi, wartawan tersebut cuma perlu membuka kuping lebar-lebar untuk mendengarkan obrolan orang-orang di warung kopi tersebut. Apalagi kalau narasumber yang sedang dibuntutinya, yang merupakan narasumber yang sedang berkaitan dengan sebuah masalah, sedang mengobrol dengan seseorang. Obrolan narasumber itu sangat menarik untuk disimak karena siapa tahu dia keceplosan mengatakan informasi yang dirahasiakannya. Apabila wartawan mendengarkan informasi itu, ia bisa mengonfirmasinya secara resmi kepada narasumber itu di lain waktu dan tempat.
Hal lain yang membuat warung kopi sebagai tempat yang digemar wartawan adalah warung kopi modern yang memiliki fasilitas wifi, buku-buku, majalah, koran, televisi. Dengan adanya fasilitas wifi, warung kopi menjadi “kantor” kedua bagi wartawan. Di sana, ia mengetik dan mengirim berita ke kantor.
Terlepas dari fungsi warung kopi sebagai saran komunikasi dan sumber informasi, warung kopi pada zaman kontemporer ini tak sekadar menjual minuman dan warung kopi tak sekadar tempat minum. Kedua hal itu sudah menjadi gaya hidup. Karena itulah kopi dan warung kopi yang semakin nyaman untuk tempat nongkrong itu digemari oleh wartawan, sebagai salah satu komunitas di tengah masyarakat.
Kenapa kopi dan warung kopi? Bagi wartawan, kopi adalah minuman penting. Kalau tidak disukai, ia tetap dibutuhkan karena kafein yang terkandung dalam kopi mampu membuat mata terus melek. Tubuh yang lelah setelah liputan akan membuat mata mengantuk. Di sinilah kopi memperlihatkan perannya sebagai pengusir kantuk. Kantuk yang di satu sisi amat diperlukan sebagai pengantar tidur, tapi di sisi lain adalah musuh bagi kegiatan kontraproduktif. Kantuk akan membuat wartawan terlambat mengirim berita, padahal deadline tidak punya toleransi. Dengan demikian, kopi adalah minuman penolong bagi wartawan sehingga kopi tak terelakkan dalam kehidupan wartawan.
Kalau seorang wartawan memiliki prestasi, lalu mesti berterimakasih terhadap minuman, barangkali ia mesti berterimakasih kepada kopi sebagai minuman pembangkit semangat, yang membuat ide, inspirasi tetap menyala. Kalau ia harus berterimakasih kepada warung, barangkali ia mesti berterimakasih terhadap warung kopi, tempat informasi tumpah ruah dari sumbernya yang murni. (*)
TRI HIKMADI PUTRA
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Unand)