Fenomena kontroversi Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, atau yang lebih dikenal sebagai Ahok, dalam segala dimensinya begitu dominan dihantarkan media, terutama sepanjang Maret-April lalu. Meskipun sudah mulai tergusur oleh isu-isu lainnya, namun apa pun yang berkenaan dengan Ahok pasti akan menjadi konsumsi head-line dan tetap aktual dibahas.
Tensi pemberitaan meningkat manakala beberapa kasus dugaan korupsi mulai menyeruak ke publik. Disusul kemudian dengan pengunduran diri beberapa pejabat (terutama Walikota Jakarta Utara) beberapa waktu lalu.
Baca Juga : SKB 3 Menteri Terkait Pemakaian Seragam siswa Perlu Ditinjau Ulang
Tak bisa dibantah, magnet Ahok mulai terbangun sejak ia mendampingi Joko Widodo sebagai Wakil Gubernur Jakarta. Masa-masa sebelum Pilpres 2014 adalah saat di mana kepopuleran Ahok di Jakarta masih ‘tertutupi’ oleh ‘efek Jokowi’. Publik yang jeli dapat melihat betapa peranan Ahok di belakang Jokowi lama-kelamaan membesar, semakin dominan, menyita perhatian. Apalagi untuk urusan tertentu, Ahok diberi porsi yang cukup besar oleh Jokowi untuk langsung turun ke lapangan, satu hal yang membuat Ahok berkesempatan berhadapan langsung dengan media.
Sebagai efek magnet yang begitu besar serta kompleksitas dan dinamika sosial-politik yang melingkupi wilayah kerjanya (baca: DKI Jakarta), ditambah gaungnya di media massa dan media sosial, publik yang terbiasa mengikuti sepak terjang Ahok sejak menjadi pemimpin di ibukota pun terbelah. Kelompok pertama adalah mereka yang menilai cara kepemimpinan dan gaya komunikasi politik Ahok memang cocok untuk provinsi seperti DKI Jakarta, artikulatif. Sebaliknya, resistensi terhadap Ahok terformulasikan ke dalam persepsi di benak kelompok lainnya bahwa cara komunikasi Ahok sudah melewati batas-batas ideal seorang pemimpin, cenderung otoriter.
Baca Juga : Jangan Ikuti! Iblis Penebar Hoaks Pertama
Ahok: Perspektif Artikulatif
Ditinjau dari perspektif komunikasi antar manusia, sejatinya Ahok berhasil memenuhi dua dari tiga aspek dalam berkomunikasi, yaitu Clarity dan Direction. Sementara untuk aspek lainnya, Attitude, Ahok kerap gagal, dalam artian tidak terlalu mengindahkan untuk bersikap secara santun dalam berkomunikasi. Sebaliknya, mantan Bupati di Bangka Belitung ini seolah tidak peduli respon lawan bicara. Wajar, karena ia menekankan kejelasan (clarity), serta kelangsungan/arah poin-poin komunikasi yang disampaikan (direction).
Baca Juga : Surau Inyiak Djambek, Warisan Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam
Konsekuensinya, siapa pun yang menjadi sasaran ‘peluru’nya akan merasakan poin-poin komunikasi Ahok mendarat tepat sasaran. Orang yang disebut-sebut dalam pernyataannya dijamin panas-dingin kupingnya. Apalagi, Ahok terbiasa menyerang dengan dalil-dalil dan data tertentu. Dampak berikutnya, sasaran tembak akan mudah terpancing untuk merespon secara emosional di lain waktu. Sebagai bukti, pertikaian komunikasi antara Ahok dan Lulung, Ahok-Yusril, dan Ahok-ketua BPK yang kerap dibingkai oleh media, kadang dibumbui sensasi di sana-sini.
Lebih jauh, dengan gayanya yang ceplas-ceplos dan apa adanya, publik jadi tahu apa yang terjadi sesungguhnya di balik seluruh pernyataannya. Alhasil, publik tidak ‘dipaksa’ untuk menebak-nebak, publik terbingkai untuk semakin menjurus mencitrakannya sebagai sosok yang artikulatif, jujur, logis. Bisa jadi, ini merupakan antitesis gaya komunikasi era Orde Baru yang cenderung ‘misterius’, enigmatik, mengambang, menyembunyikan fakta, bicara di tataran yang normatif, dan menjauhi solusi.
Baca Juga : Prabowo dan Habib Rizieq
Ahok: Perspektif Otoriter
Blake dan Maiton (2001) mengatakan, ada tiga tipe gaya kepemimpinan dalam berkomunikasi. Ketiganya adalah; demokratis, partisipatif, dan otoriter. Gaya kepemimpinan otoriter dicirikan dengan pilihan kata yang tajam, gaya bahasa nonverbal-menekan, bahasa tubuh yang cenderung agresif. Kepemimpinan otoriter biasanya bicara dengan tendensi membuka konfrontasi dengan lawan bicara, over-confidence, terlalu yakin dengan apa yang disampaikan dalam dialog.
Dan Nimmo (1999) menyebutkan, prilaku komunikasi itu ada tiga. Pertama; asertif, kedua; pasif, ketiga; agresif. Ciri-ciri asertif; komunikator akan bertindak tenang, santun, skala intonasi sedang. Pada prilaku pasif, komunikator cenderung tertutup, menghindari konfrontasi, dan nada suara pelan. Sebaliknya, perilaku komunikasi agresif ditandai dengan tindakan mendominasi pembicaraan, memiliki kecendrungan (ingin) menyerang sesuatu, nada suara keras, menekan. Bisa disimpulkan, pelaku komunikasi agresif bukanlah tipe pendengar yang baik.
Dapat disimpulkan, Ahok memilih gaya komunikasi ceplas-ceplos dan terbuka, straight to the point, bahkan terkadang meledak-ledak dengan intonasi tinggi, seolah antitesis gaya komunikasi Jokowi yang cenderung tenang meski tetap terbuka. Konsekuensi negatif dari tindak komunikasi seperti ini bukan tanpa risiko. Biasanya, pemimpin yang memilih gaya ini potensial untuk terjebak ke dalam pola kepemimpinan yang otoriter. Ini disebabkan terutama oleh prasangka yang terlanjur tertanam di benaknya bahwa ia adalah satu-satunya aktor yang sedang mengubah lingkungan bobrok di sekitarnya.
Menarik menyigi survey Periskop Data pada akhir 2015 lalu yang secara garis besar cenderung menangkap kesan negatif publik akan gaya kepemimpinan dan komunikasi politik Ahok. Terbukti, nyaris separuh dari responden (46,6%) menyatakan gaya bicara Ahok temasuk kategori ‘Tidak Baik’. Sekitar 70,4% publik menilai gaya bicara Ahok tidak santun. Sebanyak 77% responden setuju Ahok harus memperbaiki cara berkomunikasinya. Sementara di ranah kepuasan akan kinerja, hanya 48,2% dari nara sumber penelitian yang menyatakan puas dengan kinerja Ahok sebagai gubernur.
Ahok dan Persepsi Abu-abu
Terlepas dari kontroversi dan resistensi terhadapnya, Ahok tetaplah aset kepemimpinan bangsa. Cara berkomunikasinya merupakan kodrat yang melekat di kepribadiannya. Meski masih terbuka kemungkinan baginya untuk mengubah tipikal berkomunikasi, namun kemungkinan itu sangat tipis, citra artikulatif-emosional seolah sudah menjadi trade mark, dan itu merupakan kelemahan sekaligus kelebihannya.
Satu hal yang pasti, seorang pemimpin tetap harus menyadari konteks dan situasi berkomunikasi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Effendi Gazali, setiap orang, terutama pemimpin, harus tahu mana yang layak disampaikan ke publik, mana yang (hanya pantas) di dalam ruangan (dikutip dari CNNIndonesia.com, 2015). Lebih lanjut, Gazali mengingatkan, jangan sampai pemimpin jatuh ke dalam dua hal; otoriter, dan dikultuskan. Yang pertama akan mematikan nyali khalayak yang dipimpinnya, dan yang kedua mematikan nalar semua orang di sekelilingnya.
Lebih jauh, Diana Booher (2010) mengatakan bahwa komunikasi yang dilakukan pemimpin pada bawahannya bertujuan untuk menggerakkan perubahan, mengubah cara pandang dan pemikiran lingkungan organisasinya. Over-dosis dalam berkomunikasi sangat berpotensi justru mengundang blunder, sehingga tujuan awal untuk mengubah cara pandang dan pemikiran lingkungan organisasi bisa jadi malah tidak tercapai.
Meski kini Ahok ‘diserang’ dari berbagai sisi (kita ingat betapa seorang SBY yang di-bully oleh Megawati, diserang kanan-kiri justru berbalik menang dalam kontes Pilpres 2004), kita mesti semakin berhati-hati mempersepsi Ahok. Pengamat politik, M. Qodari, mengatakan, Ahok kini (mulai) dipandang tidak lagi secara hitam-putih oleh publik, namun bisa jadi sudah abu-abu (kompas.com, 12/4/16). Dua kasus, yaitu R.S. Sumber Waras dan reklamasi pantai utara Jakarta kini menjadi batu sandungan yang berpeluang menjerat langkahnya untuk tetap eksis. (*)
MOHAMMAD ISA GAUTAMA
(Pengajar Komunikasi Politik, Fakultas Ilmu Sosial-UNP)