SEBELUM riwayat ini benar-benar dimulai, kami pernah saling berdekatan dalam jarak yang boleh dikata nyaris tak berjarak. Begitu dekat begitu rapat hingga wangi kibasan rambutnya yang sekelebat melintas di ujung hidungku, masih saja selalu terkenang-kenang. Tapi kukira wangi itu bukan hanya datang dari rambutnya. Laki-laki sepertinya pastilah pengoleksi bangsa-bangsa wewangian yang memang sengaja dirancang untuk tersimpan lama dalam kenangan.
Aku tak tahu namanya. Kami sempat bersama-sama beberapa malam, tapi aku memang tidak tahu namanya. Seperti dalam sandiwara panggung paling konyol, aku memanggilnya Bung dan dia memanggilku Nona.
Baca Juga : Beragam Tradisi Unik Masyarakat Adat Indonesia di Bulan Rajab
“Aku bukan Nona,” kataku waktu itu.
“Maaf telah salah mengira, Nyonya.”
Baca Juga : Ini Daftar Hewan Langka yang Perlu Kamu Lihat Sebelum Punah
“Sesungguhnya tidak juga.”
“Ah, ya, ya. Cerai atau mati?”
Baca Juga : Berminat untuk Menjadi Penyelam? Ini Tipsnya untuk Pemula
“Satu cerai satu mati.”
“Wah! Jadi bagaimana? Setengah Nyonya setengah Nona, pernah jadi Nyonya tapi sekarang Nona yang bukan lagi seutuhnya Nona. Repot sekali.”
Baca Juga : Pembelajaran Ideal Anak saat Pandemi
“Sudahlah, Nona saja. Kedengarannya juga lebih nyaman di telinga.”
Percakapan ini terjadi pada pertemuan kedua. Di satu bar kecil yang riuh oleh suara-suara buruk dari mesin musik murahan. Aku hendak ke toilet dan dia baru keluar dari sana. Di bar ini, satu toilet bercampur perempuan laki-laki. Kami berpapasan di lorongnya yang sempit dan meski dalam ketemaraman aku mengenalinya lewat wangi yang hampir mencekam tadi. Tepat pada posisi berhadapan tatkala saling memiringkan badan, untuk barangkali empat atau lima detik, kukira kami saling bersitatap. Aku tersenyum padanya. Tanpa sadar. Mungkin dia juga. Aku tak tahu. Pastinya, saat aku kembali ke meja bar, dia mendatangiku dan menawarkan sebotol bir.
“Kau bisa memesan Martini atau Margarita. Tapi kusarankan bir saja, Nona. Kuberitahu padamu. Martini di tempat ini adalah Martini paling menyedihkan di dunia. Aku sering mendapati cocktail buruk. Tapi belum pernah ada yang campurannya sengawur ini,” katanya diikuti tawa berderai.
Dia begitu suka tertawa dan berbicara, ternyata. Kami baru bertemu dan bahkan belum saling memperkenalkan nama, namun hanya dalam tempo kurang dari satu jam, aku sudah tahu banyak tentang dirinya. Dia polisi. Detektif berpangkat sersan. Spesialis tugas luar.
“Aku jarang ke kantor dan tidak pernah mengikuti upacara apalagi mengisi absen. Aku hanya mengenakan seragam saat sedang libur,” ucapnya.
Ini kali tanpa tawa. Tapi entah mengapa aku tetap tertawa, dan kian kencang pula saat ditegaskannya bahwa ia tidak sedang bercanda.
Tepat sebulan sebelum pertemuan itu usianya 34 dan belum menikah dan sedang mendekati putri pamannya yang disebutnya seaduhai Brigette Lin. Upaya yang menurut dia sungguh ruwet lantaran dua perkara: (1) Perempuan itu sudah punya pacar dan sudah beberapa kali menunjukkan sinyal-sinyal penolakan terhadap cintanya; dan (2) orangtuanya, sungguh celaka, mendukung sikap tersebut.
“Aku menelepon ke rumahnya saban hari. Kadang dua sampai tiga kali sehari. Kami tak pernah bicara. Ada saja alasan paman dan bibiku untuk tidak menyambungkan teleponku padanya. Dia sedang memasak. Dia sedang pergi bersama-teman temannya. Dia sedang mandi. Dia sudah tidur. Dia sedang tidak ingin bicara karena sakit gigi. Aku tahu mereka sengaja melakukannya. Aku tak peduli. Aku akan terus menelepon,” katanya.
Aku ingin tak peduli, tapi sungguh teramat sial, akhirnya jadi terbawa-bawa untuk ikut peduli. Tentu saja bukan atas nasib cintanya yang sontoloyo. Melainkan nasibku. Nasib yang boleh jadi tak akan datang menghampiri kalau saja aku tak melayani segala ocehannya dan pergi dari bar sialan itu sedikit lebih cepat.
Lepas tengah malam, saat kami berjalan di trotoar yang masih sesak oleh sengkarut kehidupan, tanpa sengaja aku melihat seorang India yang telah menipuku mentah-mentah. Bajingan ini, beserta enam rekannya yang kelihatan lugu dan dungu, membawa lari barang yang hendak kuselundupkan ke luar negeri. Padahal rencana sudah matang benar. Identitas baru, kamuflase-kamuflase, juga tentunya upah yang telah kubayarkan separuhnya. Di bandara, saat aku hendak menuntaskan kongkalikong dengan petugas imigrasi dan bea cukai, mereka menghilang. Seluruh kontakku, termasuk orang yang merekomendasikan ketujuh India ini, mengaku tak tahu-menahu. Kukira ini mustahil. Anjing! Pasti mereka telah bekerjasama.
Segera kukejar India itu. Dia melihatku dan segera kabur, tapi aku berhasil menyusulnya. Dia memang tidak terlalu cepat. Perutnya yang buncit membuat langkah kakinya terseok-seok. Namun, segera pula kusadari bahwa aku telah terjebak di salah satu daerah paling rawan di Hongkong. Kawasan tempat orang-orang India perantauan berkuasa. Belasan orang berdiri mengadang. Beberapa di antaranya memegang pemukul bisbol.
Tentu saja, kemudian, ganti aku yang mengambil langkah seribu. Sebenarnya, aku menyimpan sepucuk Colt kaliber 22 di dalam tas. Tapi kupikir akan sangat riskan jika kugunakan di tempat seperti ini.
Langkah sembarang membuatku tersudut ke wilayah yang benar-benar asing. Aku terjebak! Namun tepat pada momentum paling krusial sebelum aku betul-betul tidak bisa lagi kemana-mana, nyaris sekonyong-konyong dia muncul dan menarik tanganku dan menyeretku ke balik tembok satu kedai yang telah tutup. Aku nyaris berteriak jika saja ia tak cepat membekap mulutku. Ini aku, bisiknya, sembari meletakkan telunjuk di bibirnya yang bagus.
“Sebenarnya aku bisa saja menangkapmu, Nona,” katanya setelah para pengejar berlalu, kurang lebih setengah jam berselang.
“Lalu kenapa tidak?”
“Kukira kita bisa bersepakat.”
Bersepakat? Yeah...
Kami kemudian menyewa kamar hotel. Memesan salad dan bistik, juga bir dingin dan CocaCola, lalu tidur. Bukan tidur bersama. Aku tidur di ranjang yang satu dan dia duduk di ranjang lain, menonton televisi. Aku tak tahu apakah pada akhirnya dia ikut tidur atau tidak. Sebab saat aku terjaga kurang lebih empat jam kemudian, dia sudah tidak ada. Dia meninggalkan secarik pesan. Janji perjumpaan berikut: tanggal, jam, dan tempat, berikut nomor pager.
Pembicaraan menyangkut kesepakatan baru kami bahas serius pada pertemuan keempat. Pertemuan ketiga, kami hanya keluar makan bakmi dan dia mendadak pergi setelah mendapat panggilan lewat pagernya. Aku ingat bagaimana dia sangat bersemangat karena berharap panggilan tersebut datang dari A Mei, perempuan yang menurutnya mirip Briggette Lin itu.
“Kau tinggal menunjukkan jalan. Setelah itu biarkan kami yang selesaikan,” katanya pada pertemuan keempat, sepekan berselang. Di hotel yang sama, namun kamar berbeda.
“Tidak,” jawabku.
“Tidak?”
“Aku ingin menyelesaikannya sendiri. Dan setelahnya, biarkan aku pergi.”
“Kau tahu, permintaanmu menyulitkan aku, Nona.”
“Terima atau tidak, terserah padamu. Toh sejak awal kau tahu aku tak peduli jika harus mendekam dalam penjara. Paling tidak di sana, aku bisa sejenak menarik napas lega.”
“Seandainya kau dihukum mati?”
“Itu bahkan jauh lebih baik. Tapi kau juga tahu, Bung, aku tidak akan membuat kesepakatan bodoh. Ini bisnis. Dan kukira, tawaranku cukup adil, bagiku dan bagi kalian.”
Dia menyerah. “Kau yakin akan berhasil?” tanyanya.
“Sembilan puluh delapan persen.”
“Dua persen sisanya?”
“Tergantung kesiapan kalian dan minatnya padaku.”
“Minat?”
“Persis.”
Aku mengenal laki-laki bajingan ini kurang lebih sepuluh tahun lalu. Dia yang membuat aku jadi seperti sekarang: perempuan bermantel hujan, dengan kacamata dan wig blonde. Identitas tolol yang berangkat dari fantasi seksnya yang liar.
Pascakegagalan penyelundupan, aku menemuinya dan dia memberiku waktu 3x24 jam untuk mendapatkan kembali barang-barang miliknya. Tugas yang tak kunjung kukerjakan karena memang tidak ingin kukerjakan. Aku sudah lelah. Lelah jadi budak seks. Lelah jadi budak narkotika. Apakah dia akan membunuhku? Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Bartender perempuan yang bekerja di bar miliknya, bilang betapa dia justru makin tergila-gila padaku. Makin doyan bercinta dan tiap kali melakukannya aku harus berdandan seperti kamu, katanya.
Maka selanjutnya mudah bagiku. Kukontak dia. Kukatakan aku belum berhasil menemukan barangnya. Tapi kujanjikan pertemuan. Percintaan diiringi desau nada-nada reggae. Dan persis dugaanku, dia menyambut antusias.
SAAT riwayat ini akan benar-benar berakhir pada sore berhujan itu, sesungguhnya kami tetap tak terlalu berjarak. Setidaknya, dari tempatku berdiri, masih bisa kuhirup wangi rambut dan tubuhnya.
Dia tak mengenalku. Tidak tanpa wig dan kacamata yang kutinggalkan di sisi mayat jahanam itu, yang kutembak dua kali di kepala. Itulah kali terakhir aku melihat dia. Konon kudengar, beberapa hari setelah mendapat penghargaan atas keberhasilan menuntaskan kasus, dia datang ke kantor, mengenakan seragam lengkap, mengikuti upacara dan mengisi absen, lantas mengajukan pengunduran diri.***
Cerpen: T AGUS KHAIDIR