PADANG, HALUAN — Perjalanan hidup tidak seorang pun yang tahu. Manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Seperti dialami Gusnimar (44). Anak ketiga dari 10 bersaudara, kelahiran Padang, 12 Agustus 1972 itu gagal di mengubah nasib di perantauan, namun sukses di kampung halamannya.
Pada 1995, ia dibawa suaminya merantau ke Purbalingga, Jawa Tengah. Hanya dua tahun di sana, karena kondisi ekonomi tak kunjung membaik, ia dan suaminya pindah ke Biak, Papua. Di sana ia menyambung hidup dengan berjualan di kaki lima. Tak lama kemudian, bekerja dengan orang lain. Hanya lima tahun bertahan di sana, ia dan suaminya kembali ke kampung di Padang. Menetap di rumah orangtuanya, Jl. SMP Negeri 21 Banda Buek, Kecamatan Lubuk Kilangan.
Baca Juga : Neraca Perdagangan Indonesia Januari 2021 Catatkan Surplus 1,96 Miliar Dolar AS
Untuk memenuhi kebutuhan harian, Gusnimar bersama suami mencoba beternak puyuh dengan modal Rp2 juta. Usaha itu tidak membuahkan hasil. Ia menjual perhiasan emasnya seberat 17,5 gram untuk menambah modal. Hasilnya gagal, dan usaha itu diakhirinya.
Ia melelang kandang dan peralatan ternak puyuh. Hasil lelang tersebut ia adikan uang muka kredit sepeda motor bekas, yang kemudian digunakan untuk mengojek. Beberapa tahun kemudian, keadaan ekonomi makin terasa sulit. Maka, ia berinisiatif untuk memperoleh pendapatan tambahan, yakni membuat rakik kacang.
Baca Juga : Harga Kebutuhan Pokok di Padang Cenderung Stabil
Ia mengawali usaha itu dengan membuat 50 keping rakik kacang. Rakik itu ia titipkan di kedai-kedai terdekat, dengan harga Rp400 per keeping dan dijual pengecer Rp500 per keping. Penjualan perdana cukup baik, setelah dihitung, hasilnya tidak seberapa. Tetapi, cukup membantu. Karena itu, ia melanjutkan usahanya. Sebulan kemudian ia juga membuat rakik maco sebanyak 50 keping. Dari 50 keping rakik kacang dan 50 rakik maco per minggu, terus meningkat, jumlah kedai tempat menitipkan juga kian bertambah. Sehingga produksi rakik buatan Gusnimar mencapai 400 keping per minggu. Pesanan juga makin meningkat, terutama dijadikan oleh-oleh bagi yang pergi ke luar provinsi.
Selain membuat rakik, Gusnimar juga piawai membuat kue kering arai pinang. Awalnya, hanya menerima pesanan menjelang Lebaran. Karena banyak peminat, ia mencoba pula mengemasnya. Ternyata cukup meyakinkan.
Baca Juga : Peluang untuk Tenaga Kerja, Dibuka Pendaftaran Kerja ke Jepang untuk Perawat
Setelah mendapat izin dari Dinas Kesehatan Padang, Gusnimar mengemasnya dengan isi dua ons dengan merek “Diffa Family” lalu dititipkan di beberapa minimarket dan toko-toko kue. Untuk meningkatkan mutu, ia membeli alat pengering minyak seharga Rp4 juta. Separuhnya bantuan dari PT Semen Padang. “Kualitas lebih baik, daya tahan lebih lama dan renyah,” katanya berpromosi belum lama ini.
Kini produksi arai pinang saja mencapai 40 kg per 10 hari dengan penjualan Rp40.000 per kg. Rakik kacang 250 keping per hari, diselingi dengan rakik maco dengan jumlah yang sama. Produksi sebulan berkisar 5.000-6.000 keping rakik dengan harga Rp800 per keping, arai pinang rata-rata 100 kg per bulan. “Alhamdulillah, pemasaran juga cukup bagus,” katanya. (h/rb)
Baca Juga : Jadi Ujung Tombak Penyaluran BBM di Sumbar, Ini Modal Utama Elnusa Petrofin