Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis data bahwa setiap dua jam terdapat tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Ini berarti, ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya.
Komnas Perempuan mengidentifikasi kekerasan seksual memiliki 15 bentuk, yaitu: Perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung. Selain itu, juga ada kasus lain, seperti pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual/diskriminatif, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, dan kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Baca Juga : SKB 3 Menteri Terkait Pemakaian Seragam siswa Perlu Ditinjau Ulang
Perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan tak mengenal tempat. Di kantor, di jalanan, di kampus, bahkan di rumah, hal itu bisa terjadi. Banyak kasus yang telah diungkap ke publik, baik melalui media mindstream, maupun media sosial.
Sebenarnya, kekerasan terhadap perempuan itu tak hanya soal perkosaan. Jenis kekerasan terhadap perempuan lainnya, fisik, psikis, ekonomi, maupun seksual juga kerap terjadi. Misalnya, seorang ayah dan kakak laki-lakinya yang gemar memukul dan melakukan kekerasan fisik lainnya terhadap adik-adik perempuannya. Lalu, kekerasan dalam pacaran, kerap dilecehkan, diintimidasi, dan dilarang melakukan hal-hal yang ia suka dan kekerasan lainnya.
Baca Juga : Jangan Ikuti! Iblis Penebar Hoaks Pertama
Karena itu, Dinda Nuurannissaa Yura seorang aktivis perempuan pernah berpendapat persoalan perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan tidak hanya bisa diselesaikan melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Dia harus dimulai dengan perubahan paradigma masyarakat dalam melihat bagaimana posisi perempuan, baik terhadap laki-laki, terhadap masyarakat, maupun terhadap negara. Budaya kita yang harus diubah, dan semua itu bisa dilakukan mulai dari diri kita sendiri.
Langkah pembinaan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPr&KB) Provinsi Sumatera Barat juga perlu dikembangkan selain mengembangkan persoalan potensi ekonomi agar menekan ketergantungan mereka terhadap pria.
Baca Juga : Surau Inyiak Djambek, Warisan Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam
Hal ini penting untuk aplikasi dalam keseharian karena, peserta memiliki tanggung jawab untuk membesarkan dan memintarkan anak-anak yang akan menjadi generasi penerus bangsa. Pembinaan ekonomi produktif, perlu juga melakukan pemahaman pentingnya mengetahui dan membaca gelagat atas perlakuan buruk yang akan menimpa mereka.
Lebih penting dari itu, perlindungan diri dengan menjaga etika ketimuran. Perempuan timur, jelas berbeda dalam banyak hal. Perspektif ini belakangan kerap terabaikan karena pandangan perempuan timur dianggap kolot dibanding perempuan yang kebarat-baratan. Etika dan nilai-nilai ketimuran yang luntur menjadi tanggung jawab pemangku kepentingan termasuk keluarga. (*)
Baca Juga : Prabowo dan Habib Rizieq