Meski telah mencabut sedikitnya 3.143 Perda, Perkada dan Permendagri, Kemendagri sepertinya tidak menutup peluang untuk membatalkan peraturan-peraturan lainnya yang dianggap bermasalah. Namun demikian, daerah yang Perda-nya dibatalkan, dipersilakan untuk mengajukan gugatan ke MA.
JAKARTA, HALUAN —Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Soni Sumarsono mempersilakan daerah yang perdanya dibatalkan untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA).
“Silakan menggugat ke MA, tapi sebaliknya dilihat dulu,” kata Soni Sumarsono menjawab pertanyaan wartawan, di Jakarta, kemarin.
Untuk kabupaten/kota, jelas Soni, keberatannya bisa disampaikan ke gubernur dan boleh juga langsung ke Kemendagri. “Silakan saja sebelum ke MA. Toh itu masih terbuka, mekansismenya seperti itu,” jelasnya.
Bahkan kata Soni, yang ke MA itu boleh dilakukan kabupaten/kota. “Masyarakat juga boleh. Nggak apa-apa, memang prosedur diberikan untuk itu,” terangnya.
Ketika ditanya apakah akan ada lagi Perda yang akan dibatalkan, Soni tak menampiknya. “Terus, nggak boleh berhenti. Pengawasan berjalan terus nggak boleh berhenti,” katanya.
“Walau jumlahnya nggak semasif ini, tapi tetap harus berjalan. Yang prinsip bertentangan dengan kebijakan yang lebih tinggi. Jadi kalau berubah kebijakannya seperti paket 12 kan ada kepres maka menyesuaikan, yang jelas seprti itu,” katanya (berita terkait halaman 19).
Sementara DPRD Sumbar, akan mempelajari kembali Peraturan Daerah (Perda) yang dicabut Kemendagri. Sedikitnya ada 59 Perda dan 1 Perbup yang dicabut Kemendagri.
Ketua Komisi I Bidang Pemerintahan DPRD Sumbar, Aristo Munandar, kepada Haluan kemarin menuturkan, setelah diketahui Perda apa saja yang dicabut Kemendagri, DPRD bersama dengan Biro Hukum Setdaprov Sumbar dan juga Kepala Daerah akan duduk membahas hal ini. Namun, saat ini DPRD masih menunggu Perda yang dicabut tersebut.
“Kami menunggu laporan reseminya, nanti setelah dapat laporan resminya baru akan duduk bersama dengan Pemprov Sumbar membahas hal ini,” ujar politisi Partai Golkar ini.
Dijelaskan Aristo, untuk pembuatan satu Perda memang membutuhkan anggaran besar mengingat banyaknya proses yang dilalui. Itu mulai dari pengajuan naskah akademik dari SKPD, hingga melakukan rapat-rapat dan konsultasi ke luar daerah. “Satu Perda saja itu bisa menelan anggaran hingga Rp100 juta lebih,” tukasnya.
Dilanjutkannya sebelum langkah Kemendagri mencabut Perda bermasalah ini, DPRD Sumbar juga telah lebih dahulu melakukan evaluasi Perda bermasalah di Sumbar.
Ketika Perda itu tidak jalan akan sangat merugikan masyarakat karena telah menghabiskan uang rakyat untuk pembuatannya. “Tiap tahunnya ada 15 Perda yang lahir. Bahkan satu periode dewan bisa mencapai 80 Perda. Kita tentu tidak ingin Perda yang telah ada tapi tidak jalan karena tidak ada payung hukumnya berupa Pergub. Kalau begitu untuk apa Perda ini dibuat,” katanya.
Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah mengumumkan 3.143 peraturan daerah (Perda), peraturan kepala daerah (Perkada) dan peraturan menteri dalam negeri (permendagri) yang telah dibatalkan pemerintah.
Dari 3.143 Perda yang dibatalkan tersebut, 60 di antaranya adalah Perda yang berlaku selama ini di Sumatera Barat (Sumbar) dengan rincian 7 Perda Pemprov Sumbar dan 53 Perda kabupaten/kota di Sumbar. Dari jumlah itu tidak satupun perda syariah yang masuk daftar bermasalah.
Kepala Biro Hukum Setdaprov Sumbar, Enifita Djinis, dihubungi Haluan Selasa (21/6) malam mengatakan memang dari laman website Kemendagri memang ada tujuh Perda Provinsi yang dicabut. Namun, terkait dengan pencabutan ini Pemprov Sumbar akan mendatangi Kemendagri untuk merevisi keputusan tersebut.
Pertama, tentang Perda Tera Ulang yang memang telah dicabut sejak tahun 2011 lalu namun masih masuk saat ini. Kedua, tentang Perda Retribusi Pajak Daerah, Perda ini sudah direvisi dan bahkan masuk dalam lima perda yang diparipirnakan DPRD beberapa waktu lalu yang saat ini dalam evaluasi Kemendagri.
“Kamis (hari ini, red) kami akan datangi langsung Dirjen Otoda untuk mengklarifikasi hal ini,” terangnya. (h/sam/isr)