Ubud Writers and Readers Festival (UWRF), festival internasional yang mempertemukan sejumlah pegiat sastra dunia kembali digelar akhir Oktober tahun ini di Ubud, Bali. Seperti tahun-tahun yang telah sudah, panitia menyediakan ruang bagi para penulis terpilih, untuk bergabung sebagai peserta dan pembicara undangan dalam UWRF 2016. Jagat kepenulisan Sumbar pun pantas berbangga atas terpilihnya dua penulis dari Ranah Minang: Boni Chandra dan Soetan Radjo Pamoentjak.
Seleksi Penulis Emerging Indonesia yang dibuka pada pertengahan bulan Januari dan ditutup pada akhir Februari lalu. Total ada 894 penulis dari 201 kota di 33 provinsi Indonesia yang ikut mendaftarkan karyanya. Tingginya angka tersebut menahbiskan seleksi tahun ini sebagai yang terbesar sepanjang sejarah seleksi, melesat jauh dari seleksi di tahun 2015 dengan 595 penulis dari 168 kota di 27 provinsi Indonesia.
Karya-karya dari 894 penulis itu lalu melewati seleksi yang ketat. Setiap karya terlebih dahulu dibaca oleh tim pre-kurasi yang terdiri dari sastrawan asal Ubud, Ketut Yuliarsa dan I Wayan Juniarta. Daftar panjang tersebut lalu diserahkan kepada tim kurasi yang beranggotakan penulis dan jurnalis kawakan Indonesia Seno Gumira Ajidarma, sastrawan Iswadi Pratama, dan penulis muda kebanggaan Bali Kadek Sonia Piscayanti.
“Seleksi kali ini membuktikan bahwa penulis baru tidak selalu masih mentah karyanya bahkan sebaliknya bisa membuat “penulis mapan” terperangah, untuk menghindari kata minder. Ini juga membuktikan bahwa banyak penulis berkemampuan mumpuni yang tidak terdeteksi semata-mata hanya karena tidak mendapatkan forum yang setara dengan kualitas karyanya,” kata Seno Gumira Ajidarma seperti yang dikutip oleh Haluan.
Ke-16 penulis yang beruntung tersebut akan berpartisipasi dalam UWRF 2016, mereka akan diterbangkan dari kota masing-masing ke Ubud, Bali, untuk tampil dalam forum-forum diskusi sastra berdampingan dengan para penulis internasional. Selain itu karya-karya terbaik mereka akan diterjemahkan ke Bahasa Inggris dan diterbitkan dalam buku Anthology 2016.
Boni Chandra terpilih sebagai salah satu dari 16 penulis emerging setelah mengirimkan naskah berisi kumpulan cerita pendeknya ke meja panitia. Pre Kurasi dan kurasi sendiri memutuskan delapan cerpen bertema lokalitas karya penulis asal Payakumbuh ini, sebagai salah satu dari 16 kumpulan naskah terbaik dari total 894 naskah yang masuk tahun ini.
Dalam jagat kepenulisan sastra koran-majalah nasional, khususnya Sumbar, nama Boni Chandra cukup dikenal dan diapresiasi karena karya-karyanya, yang sebagian besar mengedepankan unsur lokalitas kehidupan masyarakat di Minangkabau. Salah satu bentuk apresiasi tersebut, terbukti dengan terpilihnya salah satu naskahnya yang berjudul Pabaruak, sebagai jawara dalam salah satu perlombaan penulisan tingkat nasional.
Boni Chandra sendiri telah berselisih Minggu mengisi halaman seni dan budaya atau halaman literasi di berbagai koran nasional dan daerah. Dua dari delapan naskah yang dikirimnya dalam seleksi penulis emerging UWRF 2016, terbit di lembar Seni dan Budaya Harian Haluan, yaitu naskah yang berjudul Minangesok dan Perihal Sepasang Itik.
“Saya merasa, terpilihnya naskah saya adalah sebentuk kepercayaan terhadap menariknya kehidupan lokal di Minangkabau. Karena memang delapan cerpen yang saya kirim, semuanya berunsur lokalitas. Dan kurator macam SGA, Iswadi Pratama dan Kadek Sonia (Piscayanti), percaya akan kekuatan unsur itu, makanya terpilih,” kata Boni saat dihubungi Haluan.
Selain Boni, nama Soetan Radjo Pamoentjak juga menghiasi pengumuman 16 penulis emerging terpilih ke UWRF 2016. Lelaki yang sehari-harinya tinggal dan menulis di Bukittinggi ini juga bukan nama asing di jagat kepenulisan Sumbar. Kesertaannya di UWRF tahun ini tak lepas dari keyakinannya atas naskah Novel Berjudul Harimau Betina jilid I. Novel ini mengangkat tema tentang mitos ilmu harimau di Sumbar.
Pria yang sehari-hari beraktivitas sebagai pedagang di Pasar Aur Kuning Bukittinggi itu mulanya lebih dikenal dengan naskah kaba (cerita dalam Bahasa Minangkabau) yang kerap dipostingnya di dunia maya. Beberapa di antara naskah kabanya itu telah diterbitkan secara indie.
“Tulisan saya memang tidak pernah singgah di halaman koran atau majalah. Saya lebih nyaman menerbitkan karya secara indie. Untuk ke ubud pun saya tidak memasang target untuk lolos sebelumnya, karena saya paham banyak penulis mampuni dari saya yang ikut mengirimkan karyanya. Tapi, Alhamdulillah tahun ini naskah saya yang terpilih,” ucapnya kepada Haluan
Tercatat beberapa buku telah diterbitkan secara indie oleh lelaki yang mengaku belajar menulis secara otodidak tersebut, sebut saja buku kumpulan puisi Keris Tua Merajah Malam, Bulan di atas Gonjong, Langit Nan Terbelah, Sang Penjamoen dan Sirih Pinang. Buku Kumpulan Kaba Puyu Basisiak Ameh, dan Novel Riak Membawa Karam, Mangiang di Tanah bundo, Gulambai Rumah Gadang dan Mini Seri Cindaku I-II.(*)
Laporan: JULI ISHAQ PUTRA