Aku sedang menjalani liburan ke luar kota ketika sahabatku, Selfi, dikabarkan meninggal secara tragis. Selfi meninggal karena jatuh dari atas gedung lantai tiga belas. Kata saksi yang sempat menyaksikan kejadian tersebut, pagi itu Selfi sedang asyik mengambil foto dirinya dari puncak gedung. Sendirian. Lalu, entah terpeleset atau didorong jin, tiba-tiba Selfi terjatuh dan menghempas ke lantai dengan begitu sadis. Darahnya bergelimangan di permukaan aspal. Beberapa tulangnya dinyatakan patah serius. Selfi meninggal di tempat.
Selfi memang seorang gadis yang narsis. Dia juga pemberani. Dan, kadang nekat. Usianya yang masih labil mungkin menjadi salah satu penyebab kenapa dia bisa begitu. Walau bagaimanapun, Selfi adalah anak yang periang. Dia juga penyayang kepada banyak orang. Tapi, sayang dia telah berpulang dengan tidak tenang. Selfi yang malang. Dia akan selalu kukenang.
Dua hari sesudah kabar duka itu datang aku kembali pulang ke kotaku. Hari itu juga aku langsung pergi ke rumah mendiang. Di halamannya tenda hitam masih berdiri menyambut pelayat. Suasana kematian terasa merasuk di ambang pintu. Aku memberanikan diri masuk ke dalam. Tanpa bisa kutahan, aku menangis lagi.
***
Hujan turun dengan deras. Aku dan adikku sedang di kamar bermain komputer. Kami ingin menyalin foto-foto selama perjalanan di luar kota. Sangat banyak sekali momen yang kami foto selama liburan. Satu per satu kuamati foto itu sambil mengingat-ingat kembali suasana tempatnya. Adikku antusias sekali malam itu, meskipun di luar deru hujan dan gemuruh senantiasa mengamuk. Dia selalu berusaha menceritakan setiap foto yang terdapat potret dirinya. Dengan lapang dada aku pun meladeni kegirangannya sambil terus tersenyum.
Tapi, senyum itu akhirnya hilang ketika sebuah foto tiba-tiba mencuri perhatianku. Foto itu foto diriku saat sendirian di kamar hotel. Foto yang berlatarkan jendela itu di balik kacanya ada bayangan seseorang yang seakan ingin mengintip. Tidak begitu jelas. Terlalu samar. Aku mencoba memperbesar foto itu. Tapi, masih juga belum jelas. Dari rupa-rupanya bayangan itu seperti sesosok perempuan. Berambut panjang.
Permasalahannya, kenapa orang itu bisa berada di sana. Di balik jendela itu tak ada ruangan lagi. Kamarku juga berada di lantai empat.
Sebelum pikiranku dipenuhi hal-hal negatif aku segera mengganti foto itu dengan foto berikutnya. Untungnya adikku tak sempat menyadari kejanggalan di dalam foto tadi. Dia tidak begitu peduli dengan foto-foto yang tak melibatkannya. Hanya saja aku mulai gelisah.
Aku semakin gelisah ketika satu lagi foto janggal terpampang di depan mata. Foto saat aku berdiri sendirian di pinggir jalan. Lagi-lagi ketika sedang sendiri. Dalam foto itu ada sebatang pohon di kejauhan–sekitar lima puluh meter dari tempatku berdiri. Seseorang berdiri di belakangnya. Badan bagian kirinya terpotong oleh batang pohon. Lalu, sebagian kakinya juga tertutup oleh pagar pembatas jalan. Entah kebetulan atau tidak, dia sedang menghadapkan wajahnya ke arahku. Aku ingin memperbesarnya, tapi tidak jadi. Aku takut nanti adikku menanyakan hal-hal yang tak bisa kujawab. Akhirnya foto itu dilalui saja dahulu. Aku berusaha menenangkan diri.
Belum selesai pikiranku mempertanyakan foto-foto janggal tadi, adikku mencegatku pada sebuah foto ketika kami sedang bersama.
“Tunggu, Kak! Ini tangan siapa?” tanyanya sambil menunjuk layar; gambar sebuah tangan di atas pundak kananku. Dalam foto itu hanya ada aku, ibu, dan adikku. Aku berdiri di sebelah kanan ibu dan adikku di sebalah kirinya. Posisi kami rapat sekali sehingga tangan ibu merangkul kami dari belakang. Tapi, yang jelas saat itu tangan ibu tidak sedang tarangkat. Kira-kira berada di pinggangku. Tak mungkin sampai ke atas pundakku.
“Hmm... iya ya.” Aku lalu mencoba mencari penjelasan yang bijak. Tapi, otakku tak mendukung untuk berpikir jernih. Berbagai bayangan-bayangan mengerikan terlanjur merasuki ruang kendaliku. Aku sungguh ketakutan. Namun, masih berpura-pura tenang.
Mataku masih terpaku kepada potongan tangan itu. Pertanyaan adikku belum terjawab. Dia masih bolak-balik memandangiku dan layar komputer. Sejurus kemudian guntur meledak dan listrik padam. Semuanya mendadak gelap.
***
“Rin, kamu kenapa?” suara Dara mengusik lamunanku yang dari tadi entah ke mana-mana saja perginya. Dia baru saja memesan jus mangga dan nasi goreng. Matanya menyidikku dengan tajam ketika hendak duduk.
Aku memandanginya tanpa ekspresi. Aku tahu dia kebingungan. Tapi, untuk sementara aku memilih diam. Kasak-kusuk di kantin siang itu membuat suasana menjadi tidak begitu aneh di antara kami.
“Kamu merindukan Selfi?” Dara kembali berusaha menggubrisku. Tapi, lagi-lagi diam. Aku belum bisa mengucapkan sepatah kata pun. Dara memajukan wajahnya dan menatap mataku lebih dalam. “Aku juga, Rin. Tapi, kita harus bisa merelakan takdir. Hidup harus terus berlanjut. Jangan sedih lagi....”
Aku mengangguk kecil dan tersenyum tipis kepada Dara. Dia pun membalas dengan senyuman lebar yang selalu menyejukkan. Masalah kematian Selfi memang sangat memukulku akhir-akhir ini. Apalagi saat berada di sekolah, di mana kami sering bertemu dan berbagi cerita. Tapi, sebenarnya ada masalah lain yang membuatku menjadi hilang gairah hari ini. Foto-foto liburan tadi malam.
Pesanan Dara datang. Mulutnya mulai diam–sibuk mengunyah nasi goreng sambil terus mengawasiku. Untaian denting sendok yang beradu dengan piring mengisi kekosongan komunikasi kami untuk sementara.
Setelah cukup lama menimbang-nimbang kegelisahan yang ingin kusampaikan, aku siap untuk bicara. “Ra,” suaraku sebenarnya pelan, tapi Dara meresponnya seperti orang yang dipanggil dengan berteriak.
“Ya?” Badannya ditegakkan. Mulutnya masih mengunyah pelan. Matanya berbinar dan telinganya menunggu kelanjutan kalimatku.
“Mungkinkah Selfi mendatangiku saat liburan kemarin?” nada suaraku ragu.
Dara tiba-tiba tersedak. Dia langsung menyedot jus mangga di sebelah piringnya dengan mata yang setengah terpicing menahan penjanggal di kerongkongannya.
“Siapa tahu dia ingin menemuiku untuk yang terakhir kalinya,” aku melanjutkan. Tidak peduli dengan kekagetan Dara.
“Kenapa kamu bisa berpikiran begitu?” bicaranya masih tersedak.
“Aku....” Sebenarnya aku ingin menyampaikan masalah foto-foto liburan itu kepada Dara. Tapi, entah kenapa niat tersebut malah mundur. Mungkin aku telah salah prasangka kepada foto-foto itu.
“Aku yakin Selfi menyayangiku.” Akhirnya aku beralih sekenanya.
“Ya, pastilah Karin.” Raut wajah penasaran Dara mulai hilang. “Memangnya kamu punya masalah yang belum kelar dengan Selfi?”
“Tidak,” jawabku cepat. Aku akhirnya menyerah dan kembali diam. Rasanya lebih baik diam. Arus pikiranku sedang berantakan.
Entah berapa lama hening memagari kami. Dara telah selesai makan. Dia masih mengawasiku dengan sorot mata aneh. Seperti ada yang salah saja dengan diriku. Mungkin memang begitulah faktanya.
“Rin,” akhirnya Dara menegurku. “Tolong simpan dulu kesedihanmu. Sebentar lagi kita akan mengambil foto kelas.” Kami berdua bangkit dan berjalan menuju kelas. Kakiku melangkah di antara lamunan yang tak berkesudahan. Masih diam. Dara berjalan sedikit mendahului; aku di belakang mengikuti. Ini tak seperti biasanya.
***
Semua teman sekelasku telah berkumpul. Guru kami, Pak Herman, sedang berbincang-bincang dengan sang fotorgrafer, Pak Edo, yang masih sibuk menyiapkan kamera dan tripodnya. Aku di sudut ruang mengamati dinamika yang berlangsung. Ada yang kurang rasanya. Selfi.
“Rin, hanya untuk beberapa menit saja. Tolong....” Dara masih melihat kesalahan di ekspresi wajahku. “Simpan dulu sedihmu. Ok?” pinta Dara sekali lagi. Tepatnya untuk yang terakhir kalinya hari itu. Lalu, Dara pergi. Meninggalkanku yang tak bergeming.
Sejurus kemudian kami membentuk formasi di depan kamera. Jumlah keseluruhan murid di kelasku adalah tiga puluh orang. Formasi itu terdiri dari dua saf. Bagian depan duduk di kursi, sedangkan bagian belakang berdiri. Pak Herman mengarahkan posisi kami sebelum kemudian masuk ke dalam formasi yang berdiri. Posisi paling tengah.
Aku berada di posisi paling ujung sebelah kanan. Berdiri. Awalnya ini bukanlah kehendak Pak Herman. Dari awal pembentukan formasi aku telah berdiri di posisi itu. Dan, Pak Herman tak melihat ada yang salah di sana. Aku bersyukur. Aku sedang merasa tidak percaya diri.
Dara berada dalam deretan siswa yang duduk. Paling ujung sebelah kiri. Sesekali dia berusaha mengecek ekspresiku. Melongok untuk menjangkau pandangan. Aku masih tidak peduli. Setelah itu, tak terlihat lagi sorot mata Dara ke arahku.
Persiapan terakhir telah selesai. Pak Edo mulai memasukkan pandangannya ke dalam lensa kamera. Membidik. Kami mencoba untuk setenang mungkin. Mematung. Ada keheningan sejenak. Kecuali aku, semua murid memasang wajah berseri.
“Yang di pojok tolong lebih merapat,” pinta Pak Edo tiba-tiba. Tangannya mengarah kepadaku. Sebenarnya tidak tepat ke arahku. Aku bergeser sambil menunjuk diri untuk memastikan.
“Bukan kamu. Yang di sebelahnya.” Pandangan Pak Edo masih di dalam lensa kamera. Aku mulai kebingungan. Yang di sebelahku?
Mungkin karena sedikit kesal akhirnya Pak Edo mengelurakan pandangannya dari dalam lensa kamera. Dia mengarahkan sorot matanya ke arahku. Bukan. Ke arah di sebelahku. Saat itu juga dia terkejut. Aku makin terheran. Semua terheran.
Tanpa sempat berkata-kata, cepat-cepat Pak Edo kembali memasukkan pandangannya ke dalam lensa kamera. Ekspresi wajahnya mengisyaratkan ada rasa ketidakpercayaan. Aku tiba-tiba merasa ada yang ganjil. Keganjilan yang menggenapkan segala keganjilanku beberapa waktu belakangan ini.
Pak Edo kembali mengeluarkan pandangannya dari dalam lensa. Keningnya telah berkerut dan matanya dihinggapi kecemasan. Dia melihat gambar di dalam lensa lagi. Lalu, mendadak terjatuh. Pingsan.
Cerpen Karya: RIKI FERNANDO