Pasca-perlambatan ekonomi kuartal I/2016, pemerintah mulai menurunkan batas bawah estimasi laju produk domestik bruto tahun depan. Namun demikian, APBN diperkirakan akan tetap ekspansif.
Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2017 yang diajukan ke DPR, pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun depan berada di level 5,3%-5,9%. Selain melebar, rentang estimasi ini berubah dari rencana awal sekitar 5,5%-5,9%, yang disampaikan pada Rapat Terbatas tentang Pagu Indikatif 2017, Kamis (28/4/2016).
Intinya, tahun depan diperkirakan akan lebih tinggi dari tahun ini. Akselerator dan penopang pertumbuhan ekonomi tahun depan tidak berbeda jauh dari tahun ini. Seiring dengan belum berubahnya kondisi ekonomi global, penopang ekonomi masih terletak pada konsumsi dan investasi swasta, serta belanja pemerintah. Secara teknis diharapkan kontribusi Konsumsi Rumah Tangga akan ada di kisaran 5,1%-5,2%, Konsumsi LNPRT sebesar 6,2%-7,1%, Konsumsi Pemerintah 6,5%-6,5%, PMTB 6,4%-7,3%, Ekspor Barang dan Jasa 1,0%-2,7%, dan Impor Barang dan Jasa 1,8%-3,2%. Total PDB diekspektasikan menjadi 5,3%-5,9%.
Selain mengupayakan belanja infrastruktur yang lebih besar, kebijakan sistem prioritas belanja akan diarahkan agar lebih tajam mengenai sasaran. Dengan demikian, saat tidak ada peningkatan pagu anggaran, belanja prioritas akan lebih besar. Dalam dokumen KEM-PPKF 2017, pemerintah menyebut tantangan pengelolaan fiskal tahun depan masih cukup berat. Pertama, terbatasnya ruang fiskal untuk menopang belanja produktif dan prioritas. Kedua, realisasi belanja yang belum sepenuhnya optimal, terutama belanja yang bersifat produktif. Ketiga, pemberian subsidi yang tepat sasaran. Keempat, pengendalian belanja yang mengikat (mandatory spending). Kelima, pengendalian keseimbangan primer. Untuk tahun ini, pemerintah terbilang masih optimistis bahwa laju produk domestik bruto (PDB) sebagaimana ditargetkan akan tercapai. Padahal sebelumnya, Bank Indonesia sempat merevisi proyeksi dari 5,2%-5,6% menjadi 5,0%-5,4%
Selain itu, nilai tukar rupiah diperkirakan akan berada di level Rp13.650- Rp13.900 per dolar Amerika Serikat. Rentang nilai tukar ini memang sangat berkaitan erat dengan perkembangan global yang sampai hari ini belum juga memberikan kepastian. Untuk mengantisipasi imbas negatif nilai tukar, stimulus fiskal dan inflasi yang rendah diharapkan bisa memperbaiki tingkat konsumsi masyarakat yang kontribusinya sangat besar terhadap pertumbuhan.
Untuk menyiasati ancaman penurunan penerimaan negara, selain terus mendesak DPR untuk menyelasikan RUU Tax Amnesti dan berbagai penghematan, pemerintah juga akan menambah penerbitan bruto surat berharga negara tahun ini sekitar Rp46 triliun untuk mengakomodasi pelebaran defisit anggaran dalam rencana revisi APBN 2016. Secara otomatis penerbitan bruto SBN tahun ini akan mencapai Rp600-an triliun dari posisi saat ini Rp556 triliun. Imbasnya, defisit anggaran yang akan diajukan dalam revisi APBN 2016 akan menjadi 2,5% terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka ini melebar dari patokan dalam APBN sebelumnya yang tercatat 2,15% terhadap PDB. Dari data yang ada, hingga 19 Mei 2016, total SBN yang telah diterbitkan sekitar Rp326 triliun atau sudah separoh lebih dari gross. Sementara SAL, perkiraannya sekitar Rp18 triliun sampai Rp20 triliun.
Terobosan anggaran dan penajaman prioritas pembangunan, baik untuk tahun ini maupun tahun-tahun mendatang, memang harus dilakukan pemerintah karena perkembangan pertumbuhan sampai kuartal pertama tahun ini terbilang kurang menggembirakan. Berdasarkan data terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi triwulan I 2016 hanya mencapai 4,92% persen secara tahunan, lebih rendah dibanding triwulan keempat 2015 yang tercatat sebesar 5,04%, tetapi lebih tinggi dibanding triwulan pertama 2015 yang tercatat sebesar 4,73%. Meski secara tahunan mengalami pertumbuhan, namun secara kuartalan pertumbuhan ekonomi tercatat minus 0,34%. Dan jika ingin memaksa terlihat lebih baik, memang start di triwulan pertama 2016 kalau dibanding triwulan pertama 2015 juga masih terbilang lebih baik.
Kinerja ekonomi kuartal pertama 2016 yang agak mengecewakan tentu tak lepas dari kinerja perekonomian global pada triwulan pertama 2016 yang juga masih melemah. Negara mitra dagang Indonesia seperti China mengalami perlambatan ekonomi dari 6,8% menjadi 6,7%. Pertumbuhan Amerika Serikat sendiri stagnan di angka 2% dan juga Singapura yang stagnan di 1,8%. Sementara itu dari sisi domestik sendiri, inflasi bergerak rendah sebesar 0,62% pada periode Januari-Maret 2016, rupiah menguat 3,67%, belanja negara meningkat 6,16% year on year (YoY), dan realisasi penerimaan pajak 13,24% dari target tahun ini.
Untuk perspektif pembanding, saya kira ada baiknya juga pemerintah sedikit memberi atensi kepada perspektif yang belum lama ini ditawarkan Bank Dunia. Lembaga Keuangan Global ini menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena melihat dari sisi potensi perlambatan laju pertumbuhan pendapatan. Indonesia Economic Quarterly edisi Maret 2016 memproyeksikan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,1% pada 2016 (yoy), lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,3%. Secara komparatif, Indonesia memang menikmati laju pertumbuhan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara eksportir komoditas lainnya. Namun pemerintah butuh catatan tambahan bahwa pertumbuhan di bawah 6% tidak bisa menciptakan lapangan kerja yang cukup bagi angkatan kerja yang mencapai 3 juta setiap tahun.
Pertumbuhan ekonomi dari sektor swasta nampaknya memang sedikit mampu mengimbangi penurunan pendapatan yang dialami pemerintah. Data menunjukan bahwa sumbangan pendapatan pemerintah terhadap produk domestik bruto hanya mencapai 13%. Kontribusi yang tidak terlalu menggembirakan tersebut tertekan oleh penurunan porsi pendapatan migas dari 3,4% pada 2012 menjadi 1,2% pada 2015. Sehingga tugas berat pemerintah Indonesia terkait masalah pendapatan masih sangat banyak, terutama masalah reformasi sektor perpajakan melalui perbaikan administrasi, sistem informasi dan manajamen data, dan perubahan kebijakan.
Jadi belanja pemerintah untuk infrastruktur menjadi faktor utama yang mendorong pertumbuhan ekonomi bergerak perlahan dengan perkiraan mencapai 5,1% pada 2016. Sementara risiko yang membentang tidak mudah, yakni pertumbuhan pendapatan yang lemah dan menurunnya harga komoditas yang menimbulkan risiko bagi investasi pemerintah. Sehingga sangat bisa dipahami mengapa pemerintah begitu “ngoyo” membangun segala kebutuhan untuk menghadirkan investasi swasta karena dianggap sebagai salah satu titik masuk yang paling mungkin di tahun ini.
Kondisi ini tentu terdorong oleh kombinasi faktor eksternal dan internal yang saling bersambut. Aksi bank sentral negara-negara di Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat yang cenderung tidak menaikkan suku bunga membawa dampak positif bagi negara berkembang. The Fed memilih menahan suku bunga acuannya di level 0,5% pada kuartal I/2016 dan Jepang masih bertahan dengan kebijakan suku bunga negatif. Sementara itu, Bank sentral lainnya juga terlihat tidak terlalu bernafsu menaikkan suku bunga, sehingga membuat para pemodal asing semakin optimis melirik instrument investasi di negara-negara emerging.
Namun demikian, selain mengolah berbagai opsi penghematan, intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan, atau penajaman program prioritas, saya kira ada baiknya juga pemerintah menyisakan satu opsi terakhir ketika keadaan ternyata bergerak jauh dari target yang ditetapkan, yakni penyesuaian, baik berbagai asumsi makro maupun target pertumbuhan. Opsi penyesuaian akan dibutuhkan jika target dan rencana yang telah dibuat bergerak menjauh dari realitas dan dinamika ekonomi yang ada. Tujuannya sederhanya saja, yakni agar tidak terjadi disparitas yang terlalu lebar antara target dan pencapaian di penghujung tahun. (*)
RONNY P SASMITA
(Analis Senior Financeroll Indonesia)