Sepertinya mengada-ada, tidak ada hubungan sama sekali antara puasa dan korupsi. Sebagian besar yang terbersit di kepala kita semacam dikotomi yang baik dan buruk, bahwa puasa adalah perilaku baik dan bagian dari ibadah. Melakukan puasa mendapat ganjaran pahala berlipat ganda, dunia-akhirat. Sebaliknya, korupsi adalah perilaku buruk, terkutuk, melakukannya mendapatkan balasan dosa, baik secara agama maupun sosial-politik.
Berangkat dari paradigma itu, menarik membicarakan tema korupsi, sebuah perilaku berkonotasi negatif, di bulan yang berkonotasi positif, Ramadan. Petuah-petuah agama telah membuat kita (lumayan) hapal betapa di sepanjang bulan ini segala keberkahan dan ampunan dicurahkan seluas-luasnya oleh Sang Pencipta. Betapa setan sebagai penggoda dan penjerumus manusia dikerangkeng, yang ada hanya para ‘junior’-nya yang tak lain adalah hawa nafsu kita sendiri.
Baca Juga : Prabowo dan Habib Rizieq
Menarik, karena korupsi terlanjur menjadi topik seksi, hari ke hari di negara ini. Tidak saja karena berbagai catatan membuat kita mengurut dada, mulai dari rekor sebagai negara terkorup di dunia, sampai ke para koruptor yang merambah para penegak hukum di posisi puncak. Mulai dari para pejabat di Mahkamah Agung, Pejabat teras kepolisian, sampai ketua Mahkamah Konstitusi, tak mau ketinggalan melakukan korupsi. Namun juga, betapa aktivitas korupsi ternyata dilakukan secara diam-diam dan terang-terangan, tanpa sengaja maupun disengaja, bahkan disinyalir merupakan bagian dari budaya.
Motif Korupsi
Baca Juga : Catatan Akhir Tahun (4): Selamat Tinggal Tahun Kelam
Menyigi berbagai ‘rekor’ itu, timbul pertanyaan, apa benar yang menyebabkan orang masih gemar melakukan korupsi? Kenapa seolah pelaku korupsi tidak belajar pada sejarah para koruptor, membaca koran dan menonton televisi, betapa para pelaku koruptor dicaci maki, baik secara intelektual (melalui talk-show dan diskusi serta seminar), mau pun secara emosional-barbar melalui berbagai demonstrasi dan hujatan tak bermoral di media sosial. Kenapa tidak ada semacam gerakan tobat nasional yang lahir dari rahim rakyat (baca: pejabat dan masyarakat) sendiri untuk mencegah dan menghindari tindak korupsi mulai dari diri dan lingkungan sendiri?
Salah satu jawabannya mungkin bisa kita tinjau dari teori mengenai motif orang melakukan korupsi. Dari sebegitu banyak teori, salah satu yang paling sering dikutip adalah teori yang juga membahas mengenai perilaku korupsi, diformulasikan oleh Jack Bologne (2006), yang dikenal dengan teori GONE. Ilustrasi GONE Theory yang meliputi Greeds (keserakahan), Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan) dan Exporsure (Pengungkapan).
Baca Juga : Catatan Akhir Tahun (2): Kita Sungguh Perlu Bersatu
Greed, terkait keserakahan (greedy) dan kerakusan para pelaku korupsi yang tidak pernah puas akan keadaan dirinya. Opportunity, merupakan sistem yang memberi peluang untuk melakukan korupsi. Sistem di sini bisa diperluas sebagai keadaan organisasi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. Need, yaitu sikap mental yang tidak pernah merasa cukup, selalu sarat dengan kebutuhan yang tidak pernah usai. Sedangkan Exposure, hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi yang tidak memberikan efek jera pelaku maupun orang lain.
Dibawakan ke momen puasa, tentunya semua orang berharap, keempat faktor yang menyebabkan orang melakukan korupsi itu bisa diminimalisir serendah mungkin daya dorongnya selama Ramadhan. Ditilik dari faktor keserakahan, semoga saja para ‘calon koruptor’ mau berpikir ulang dan mampu meredam nafsunya untuk selalu merasa masih kurang dengan keadaan dirinya.
Baca Juga : Catatan Akhir Tahun(1) : Ekonomi Menyedihkan
Kita sudah bosan betapa selama ini para koruptor kelas kakap ternyata bukanlah orang-orang yang serba kekurangan. Sebaliknya, mereka adalah orang kaya, melimpah ruah harta dan jabatannya. Tentu saja, logika greedy tidak mempan di sini, karena orang yang rakus sudah bisa dipastikan adalah orang yang sebenarnya sudah mapan dirinya. Tidak mungkin orang miskin yang melakukan korupsi dikatakan sebagai si rakus.
Dari segi peluang, tentunya setiap hari, meskipun bukan di bulan puasa, peluang untuk melakukan korupsi di sebuah sistem kelembagaan tertentu diharapkan semakin tertutup. Negara kita katanya sudah memiliki sistem antikorupsi yang sudah disosialisaikan ke seluruh instansi pemerintah. Persoalannya adalah, apakah sistem pencegahan itu sudah berjalan optimal di lapangan dalam rangka mencegah praktik korupsi? Rasanya belum.
Faktor ketiga, mirip dengan faktor pertama, mencakup kebutuhan yang tak pernah henti untuk memperkaya diri sendiri. Puasa adalah sarana ampuh yang diharapkan mampu memberikan kesadaran sejak awal, sehingga perilaku korupsi bukan saja bisa dihukum namun hendaknya dicegah sedari dini.
Faktor keempat, inilah permasalahan bangsa kita, yaitu penegakan hukum yang masih belum maksimal dan terkesan masih pandang bulu. Adagium hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas sudah lama menjadi favorit para kuli tinta untuk menggambarkan betapa para penegak hukum, terutama khusus hukum antikorupsi selama ini masih saja memberi hukuman yang tidak maksimal/berat bagi para koruptor. Sebaliknya, para pelaku kejahatan ringan dihukum cenderung berat. Penelitian ICW setiap tahun sudah bisa menjadi patokan mengenai rerata hukuman yang diterima para koruptor (bisa dicek di www.antikorupsi.org).
Distorsi Nilai-nilai
Penelitian lain yang dilakukan oleh Listyo Yuwanto (2015) juga menarik untuk diperhatikan seksama. Dalam kajiannya yang menyorot profil koruptor berdasarkan tinjauan nilai-nilai dasar kemanusiaan (Basic Human Values), ditemukan kesamaan profil koruptor, yaitu rendahnya penghargaan terhadap universalism dan benevolence values (nilai-nilai luhur). Lebih jauh, ditemukan bahwa faktor penyebab korupsi terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal diprediksi melalui nilai-nilai (values) yang dimiliki koruptor.
Lebih jauh, penelitian tersebut mengklasifikasikan lima tipe koruptor berdasarkan pemahamannya terhadap nilai-nilai yang dianutnya dan dihubungkan dengan pandangannya terhadap korupsi yang dilakukan. Ternyata, temuan lima tipe tersebut sangat beragam. Tipe pertama menekankan suatu perilaku (korupsi) sebagai budaya dan kebiasaan. Tipe kedua, selain menekankan prilaku korupsi sebagai budaya dan kebiasaan, juga mengaku bebas dan tidak terikat dengan aturan serta berani mengambil risiko untuk kesenangan. Tipe ketiga menekankan keberhasilan untuk mendapatkan pujian dari orang lain serta mengedepankan menjadi kaya dan orang lain mengikuti kehendaknya (achievement and power).
Berikutnya, tipe keempat, mengikuti apa yang dianjurkan dan dikerjakan, atau dilakukan sebagian besar orang di lingkungannya (conformity), serta mengutamakan keamanan diri sendiri (security). Sedangkan koruptor tipe kelima menekankan kesenangan (hedonism), serta menjadi kaya sehingga orang lain mengikutinya (power). Kesimpulan yang dapat ditarik, para koruptor menginternalisasi nilai-nilai luhur secara distortif-negatif. Nilai-nilai yang seharusnya dimaknai sevara positif, seperti tradisi, pencapaian hidup, kekuasaan, stimulasi, dan kenyamanan diri justru dimaknai secara terbalik sehingga menjadi pendorong utama perilaku korupsi.
Puasa, sebagai ajang pengendalian diri dan internalisasi nilai-nilai spiritual dan kemanuasiaan (human universalism) mestinya dapat menjadi latihan yang paling efektif untuk ruang reflektif bagi setiap pribadi yang potensial melakukan tindak korupsi. Korupsi merupakan muara yang mencerminkan sejauh mana si pelaku memaknai nilai-nilai luhur dan sejauh mana itu berdampak pada perilakunya. Mustahil perilaku yang buruk berasal dari pemahaman nilai yang baik, demikian pula sebaliknya. Dengan terbiasanya menahan diri dan mampu mengontrol secara konstan terhadap berbagai godaan dan kesempatan melakukan korupsi, tentunya akan berdampak positif terhadap pencegahan tindak korupsi, dan itu dapat dilakukan jika si ‘calon koruptor’ benar-benar berpuasa secara kaffah. (*)
MOHAMMAD ISA GAUTAMA
(Dewan Pendiri Lembaga Antikorupsi Integritas)