PADANG, HALUAN — Setiap menjelang Lebaran tiba peredaran uang baru di pinggir jalan semakin ramai. Ini membuat pro dan kontra terjadi di masyarakat tentang hukum ‘penjualan uang baru’. Sementara terkait hal itu belum ada kejelasan yang pasti dari pihak yang terkait.
Sebagian masyarakat menyatakan kegiatan ini ada kaitannya dengan riba sedangkan yang lain beranggapan ‘pedagang uang’ tersebut hanya menjual jasa mereka.
Baca Juga : Masa Reses DPRD Padang, Irawati Meuraksa Siapkan Program Tepat Guna untuk Masyarakat
Saat dikonfirmasi ke Muhammadiyah Sumbar, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Sumbar Bakhtiar mengatakan bahwa lembaganya belum membuat fatwa tentang halal atau haramnya jasa ‘penjualan uang baru’ tersebut.
Namun, secara pribadi dia mempunyai pendapat bahwa aktifitas itu (‘penjualan uang baru’) adalah boleh-boleh saja.
Baca Juga : Ada Perbaikan Pipa Perumda AM Kota Padang di Lubuk Minturun, Siap-siap Tampung Air!
‘Penjualan uang’ tersebut, katanya, tidaklah termasuk ke dalam riba, melainkan hanya sekedar aktifitas penawaran jasa. Menurut dia, kegiatan ini dianggap jasa apabila tidak ada orang yang merasa dirugikan.
Bakhtiar menambahkan, selama ‘pedagang uang’ tersebut tidak menyalahi aturan muamalah yang haram maka pekerjaan tersebut masih dibenarkan.
Baca Juga : Tanaman Hias Jenis Keladi Paling Banyak Dicari Emak-emak di Padang
“Muamalah yang haram itu ada 5 yaitu mengandung unsur penipuan, mengandung keraguan tentang halal dan haram, ada pihak yang teraniaya, wujud benda tidak jelas/ haram, dan tidak berupa judi,” terangnya.
Ia juga menambahkan, jika salah satu unsur tersebut terjadi dalam kegiatan penukaran uang, maka baru bisa disebut aktifitas itu haram.
Baca Juga : GOR H Agus Salim Padang Ditutup, Masyarakat Beralih Olahraga ke Unand
Sementara itu, menurut Ketua MUI Sumbar Gusrizal Gazahar, kegiatan ‘penjualan uang’ itu termasuk riba dan hukumnya haram.
Menurut dia, uang yang digunakan dalam kegiatan ini dalam islam diperlakukan sama dengan Dinar dan Dirham yang terbuat dari emas dan perak.
Jika mereka menukar uang harus dengan nilai tukar yang sama, misalnya jika ingin menukar uang Rp200.000 dengan uang pecahan baru Rp10.000 maka penukarannya tidak boleh dilebihkan. Contohnya, Rp 200.000 dibayar Rp 210.000.
“Kami selaku pihak MUI Sumbar sudah memberikan imbauan kepada pihak terkait agar memfasilitasi masyarakat untuk melakukan penukaran uang di lembaga-lembaga yang ditunjuk. Hal ini agar tidak terjadi kesalahan,” lanjutnya
Menurut Gusrizal, sebenarnya penukaran uang ini terjadi akibat tradisi di masyarakat yang saat Lebaran suka membagikan uang baru kepada anak-anak.
“Saya sebenarnya sudah memberitahu masyarakat agar tradisi ini dihilangkan karena tidak mendidik,” tuturnya.(h/mg-rma)