Marueian, mandor pribumi berlari kencang di tengah ratusan para penduduk lokal Mentawai yang sedang diperbudak. “Bajak! Alepa’an Atapasaggak! Amamanangan ita!” teriaknya keras. Kumpulan penduduk lokal buncah, mengepalkan tangan ke udara sembari berteriak “Merdeka!”. Pulau Siberut gegap gempita oleh pekik orang-orang dengan tubuh kurus kering. Kala itu, secercah harapan untuk keluar dari ketertindasan hadir di Mentawai.
BHENZ MAHARAJO – MENTAWAI
Baca Juga : SKB 3 Menteri Terkait Pemakaian Seragam siswa Perlu Ditinjau Ulang
Kalimat usang tersebut terucap saat Jepang menyerah ke Sekutu pascapengeboman Kota Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945. Pekik Marueian yang artinya dalam bahasa Indonesia, ‘Sudah selesai berperang. Sudah menang kita’, sampai sekarang melegenda di Mentawai. Tidak sekadar diingat, tapi juga menjadi pelecut semangat bagi sebagian kalangan. Ketika itulah mereka benar-benar merasa lapang, dan terbebas dari bermacam kungkungan, meski pada akhirnya Mentawai tak benar-benar merdeka secara utuh.
Ketika Marueian berteriak, ada seratusan laki-laki Mentawai yang sedang diperbudak tentara Jepang untuk mendatarkan bukit-bukit dan membuat lubang tempat persembunyian. Dengan letaknya yang di luat lepas dan terdiri dari gugusan pulau, tentara Jepang memang menjadikan Mentawai sebagai daerah persembunyian sejak awal kedatangan, tahun 1942. Ada banyak bukti sejarah yang ditinggalkan oleh tentara Jepang di Pulau Siberut, seperti benteng kecil, lubang, dan Bukit Pastoral Siberut Selatan yang pernah didatarkan oleh para pekerja paksa.
Baca Juga : Jangan Ikuti! Iblis Penebar Hoaks Pertama
Cerita itu dinukilkan kembali beberapa orang tua yang ditemui Haluan di Dermaga Tuapejat, Rabu (21/3) Maret lalu.
“Itu hari bersejarah. Tidak hanya bagi Indonesia, tapi juga Mentawai. Kami terbebas dari belenggu penjajahan Jepang yang sadisnya minta ampun. Kaum lelaki disuruh kerja paksa siang malam. Saya beruntung tidak mendapati masa itu. Lahirnya ketika Indonesia sudah merdeka saja,” ungkap Ukuy Bruno yang berasal dari Sipora Utara. Dia datang ke dermaga menjemput kiriman anaknya dari Padang.
Baca Juga : Surau Inyiak Djambek, Warisan Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam
Sepotong kisah yang diceritakan Ukuy seolah menyiratkan, sejak berpuluh tahun yang lalu, sejarah masyarakat Mentawai adalah sejarah penindasan yang begitu kelam. Meski demikian, Mentawai tetaplah Mentawai yang penuh semangat, dengan penduduk yang pantang menyerah. Mereka terbiasa dihantam badai, terkucil dan dikungkung dalam pradigma buruk oleh orang-orang yang tak bisa memahami secara utuh kelebihan yang dimiliki.
Berpuluh tahun setelah rasa lapang setelah kepergian Jepang dan merdekanya Indonesia, Mentawai tak beranjak ke arah yang lebih baik. Hidup penduduk yang tinggal di gugusan pulau tersebut berkubang ketertinggalan. Minimnya perhatian pemerintah membuat luka kian nganga. Dibandingkan daerah lainnya di Sumbar, Mentawai merupakan daerah paling tertinggal. Jangankan hidup mewah, jalan yang mereka punya hanya berupa beton, itupun sudah rusak di beberapa ruas.
Baca Juga : Prabowo dan Habib Rizieq
“Nan harus diingat, Mentawai ini berada di Sumbar. Bagian dari Indonesia juga,” tutur Wakil Bupati Mentawai, Kortanius Sabeleake memulai cerita. Suaranya bergetar ketika mengucap kalimat satir tersebut.
Kortanius pantas marah mengingat daerah yang dipimpinnya bersama Yudas Sabaggalet tak bisa berlari mengejar ketertinggalan seperti daerah lainnya. Tahun depan, Mentawai mungkin satu-satunya kabupaten tertinggal di Sumbar. Pasaman dan Solok Selatan berpeluang besar melepaskan status buruknya setelah berhasil memacu pembangunan dengan bantuan tak sedikit dari pemerintah pusat dan provinsi. Masyarakat Mentawai sepertinya mesti mengulur sabar lebih lama. Hal itu diamini Kortanius. “Tinggal kami,” katanya.
Pemkab Mentawai sebenarnya sudah berusaha sekuat tenaga keluar dari penindasan. Jika melihat waktu, memang sudah semestinya masyarakat Mentawai menikmati hidup sebagai orang yang bebas dari ketertinggalan. Kabupaten ini sama-sama berdiri dengan Dharmasraya dan Pasaman. Lalu apa yang jadi hambatan? Menurut Kortanius, akses yang rumit ke daerah yang dipimpinnya menjadi hambatan paling besar. Membangun Mentawai tak segampang Dharmasraya dan Pasaman, yang tinggal menyediakan duit, lelang proyek lalu membangun. Di Mentawai lain. Ukuran jarak juga diperhitungkan.
“Bandingkan saja. Jika di daerah lain uang Rp10 miliar itu bisa untuk membuat 10 kilometer jalan aspal yang lebar, di Mentawai tidak bisa. Uang sebanyak itu cuma bisa dipakai untuk 1 kilimeter jalan. Biayanya tinggi. Hampir semua bahan baku diangkut dari Padang menggunakan kapal. Alat berat juga demikian. Hambatannya ya jarak. Cost yang kami keluarkan untuk membangun infrastruktur itu 10 kali lebih besar dibandingkan daerah lain,” papar Kortanius.