Beratus tahun sejak “ditemukan” oleh sekelompok pelaut Inggris, Mentawai seolah hidup dalam kemurungan. Sulitnya akses menjadi kendala paling berat dalam upaya pembebasan kabupaten kepulauan itu dari pasung ketertinggalan. Namun, 10 tahun belakangan, Mentawai mulai melawan segala keterbatasan dan membangun sarana pendidikan sebagai wujud mimpi untuk sejajar dengan daerah lainnya. Di Semenanjung Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara, mimpi itu dirajut agar berwujud.
Bhenz Maharajo – Mentawai
Baca Juga : SKB 3 Menteri Terkait Pemakaian Seragam siswa Perlu Ditinjau Ulang
Keberadaan suku Mentawai di era modern paling awal termuat dalam dokumentasi awal oleh John Crisp. Dokumentasi itu mengatakan bahwa pada pertengahan 1700 orang-orang yang berasal dari Inggris pernah berupaya mendirikan pemukiman serta ladang lada di pulau Pagai Selatan, namun gagal. Sejak itu, gelombang migrasi seolah tidak henti ke Mentawai. Tahun 1864, Belanda menandatangani kontrol Sumatera dan Semenanjung Malaya serta mengklaim kepulauan Mentawai di bawah kedaulatan Hindia Timur. Tuapejat menjadi daerah yang paling penting sejak saat itu, dan dijadikan pusat pengontrolan kekuasaan Belanda.
Pada masa itu, hubungan antara masyarakat Belanda dan pribumi berjalan dalam hubungan yang saling menguntungkan, di mana orang-orang Belanda menerima harga yang adil dalam perdagangan. Suku Mentawai bebas untuk menerapkan Arat Sabulungan. Cerita tentang Mentawai kian menggema ke dunia setelah pada tahun 1900, Belanda memperkenalkan Mentawai ke eropa dengan mencetak kartu pos Kampeng en Mentawai Eilanden, dengan foto tokoh Arat Sabulungan, agama asli suku-suku Mentawai. Tanah yang subur, keanekaragaman hayati, dan hutan yang menjadi rumah bagi masyarakat lokal jadi pengundang orang datang. Tak sedikit pula yang singgah ke Mentawai untuk menikmati alam serta kekayaan budaya masyarakat Mentawai yang kaya akan ritual serta menyatu dengan alam. Hingga kini, Mentawai dengan ombak terbaiknya untuk surfing jadi tujuan utama wisatawan asing yang datang ke Sumbar. Puluhan ribu banyaknya.
Baca Juga : Jangan Ikuti! Iblis Penebar Hoaks Pertama
Namun, kedatangan orang luar ke Mentawai tidak serta merta berdampak pada kemajuan di sana. Selain ada baiknya, namun juga berdampak semakin terpinggirkannya penduduk asli Mentawai. Lokasi-lokasi strategis, terutama di ibu kota kabupaten, Tuapejat “dikuasai” para pendatang. Mereka membangun basis perdagangan, dan menjalin niaga dengan penduduk lokal yang kebanyakan bertani serta menjadi nelayan. Sepanjang jalan utama Tuapejat, yang berniaga hanya sebagian kecil orang Mentawai asli.
Keramahan Mentawai pada siapa saja yang datang menimbulkan petaka menahun. Hutan yang mereka jaga perlahan ditebangi dengan selubung izin Hak Penguasahaan Hutan (HPH) yang dikeluarkan pemerintah pusat sejak 1971, dan berlaku sampai sekarang. Entah sudah berapa ratus ribu hektare hutan Mentawai yang ditebangi. Lalu apa yang didapatkan penduduk lokal? Jawabannya hanya kepedihan, dan keterbelakangan yang dipaksakan. Selama 40 tahun, pembabatan hutan besar-besaran di Mentawai meninggalkan jejak kerusakan ekologi yang kronis dan konflik sosial. Harapan pemberdayaan masyarakat yang digaungkan sebelum pengelolaan hutan dilakukan hanya mimpi kosong. Hilang ditelan suara riuh gergaji besi.
Baca Juga : Surau Inyiak Djambek, Warisan Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam