Manggani, belantara di ujung utara Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat itu memiliki kisah panjang. Berton-ton emas yang terkandung di perut buminya seolah gadis perawan dengan mata riang berbinar. Menggoda orang untuk datang dan menatapnya dekat. Lebih seabad silam, bangsa eropa berebutan ke sana. Mereka rela mengarungi samudera berbulan-bulan untuk sampai ke rimba lebat itu. Bagaimana kisahnya?
Laporan: Bhenz Maharajo
Kedatangan pekerja tambang ilegal asal Cina ke Hutan Manggani, Jorong Pua Data, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota akhir Oktober lalu membuka lipatan sejarah tentang tambang emas dan mangan Manggani yang kini sudah terlarang dan masuk ke dalam kawasan Hutan Suaka Alam Wisata (HSAW). Manggani tak sekadar kawasan pertambangan, tapi pemukiman modern kala itu. Di Manggani ada rumah sakit mini dengan dokter orang Austria, sekolah, bahkan punya rel kereta api khusus.
Wilayah tambang emas Manggani, dari sejumlah literatur, termasuk hasil penelitian Nalfira yang kini menjabat sebagai Sekretaris Bappeda Payakumbuh disebut sebagai tambang emas tua di Sumatera. Penambangan emas oleh rakyat yang sudah ada, jauh sebelum Belanda menguasai dataran Sumatra, pada awal abad ke-19. Emas memang menjadi komoditi yang menjanjikan selain rempah-rempah di kala itu.
Dari dokumen yang masih tersisa, secara professional, emas Manggani pertama dikelola oleh West Sumatra Mijnen Syndicaat, perusahaan pertambangan asal Roterdaam. Eksplorasi oleh West Sumatra Mijnen Syndicaat dilakukan dari tahun 1906-1911. Namun, tanpa diketahui sebab pastinya, West Sumatra Mijnen Syndicaat pada tahun 1911 tiba-tiba menyerahkan kuasa penambangan kepada Mijnbouw Maatschappij (MM) Aequator atau Aequator Mining & Co.
Dokumen yang didapat Nalfira, MM Aequator membeli konsesinya dari West Sumatra Mijnen Syndicaat. Dokumen lama Kolonial Verslaag ada yang memuat hak konsesi penambangan untuk wilayah yang disebut Equator selama 75 tahun yang berlaku sejak tahun 1910. Wilayah konsesi penambangan Equator ini meliputi area seluas 987 Hektare dengan nilai konsesi sebesar 0,25 Gulden per hektare. Ada dua sertifikat saham berlabel MM Aequator, masing –masing bernilai 100 dan 1000 Gulden. Dua sertifikat itu memakai dua bahasa. Yakninya bahasa Belanda dan Jerman.
Semasa dikelola MM Aequator Manggani berkembang. Dari potongan koran lama Belanda, diketahui pada tahun 1919, MM Aequator bisa mengeksploitasi 207 ton dari perut Manggani, dengan kalkulasi, setiap satu ton galian mengandung 582 perak dan bergram-gram emas.
Mangani menjadi penghasil emas yang sangat penting di barat dan utara Sumatera. Dalam perkembangannya, wilayah Mangani merupakan kawasan khusus pertambangan yang memiliki fasilitas yang sangat lengkap. Selain dari fasilitas toko dan barang kebutuhan lainnya, di sana juga terdapat rumah sakit mini. Dokter yang bertugas di sana pada kurun 1914-1915 di datangkan dari Austria. Mangani merupakan pesona berkilau di sepanjang equator (khatulistiwa) yang menghadirkan emas dan perak.
“Bahkan, atas usulan Willem de Haan dan atas desakan dari pemegang saham MM Aequator pada pemerintah hindia Belanda, jalur kereta api akhirnya dibuka untuk mengangkut emas Manggani. Sebagian besar biaya pembangunan rel kereta api sepanjang 20 kilometer berkemungkinan diperoleh dari perusahaan tambang MM Aequator ini. Tidak hanya untuk mengangkut hasil tambang, jalur kereta itu juga diproyeksikan untuk mengangkut seluruh perlengkapan dan kebutuhan hidup yang di datangkan dengan kapal dari Teluk Bayur yang kala itu bernama Emmahaven,” tulis Nalfira dalam situs pribadinya.
Namun, eksplorasi yang dilakukan tidak lama. Sekitar tahun 1930-an, MM Aequator hengkang dari Manggani. Bermacam kisah mengiringi kejayaan MM Aequator sebelum dikabarkan merugi. Salah satu peristiwa yang tercatat dalam perjalanan perusahaan itu, diadilinya beberapa pekerja asal Jerman karena dianggap menghina Ratu Belanda. Lepas dari tangan MM Aequator pada tahun 1938, Manggani dikelola Marsman-concern, konsesi Amerika yang perusahannya berpusat di Manila. Tapi penambangan yang dilakukan hanya sebentar dan mengalami kemunduran. Setelah itu Manggani ditinggalkan.
Tak Pernah Mati
Ditinggalkan Marsman-concern, apakah Manggani mati? Jawabannya tidak. Areal tambang Manggani kembali menjadi “milik” pribumi. Berbondong-bondong orang menambang emas di sana. Bahkan tak hanya warga Limapuluh Kota, tapi juga ada yang datang dari Jawa, serta dataran Sumatra lainnya. Kala perang meletus, orang-orang tetap saja manambang di Manggani, bahkan sampai Manggani ditetapkan sebagai Hutan Suaka Alam Wisata dan masuk ke kawasan Bukit Alahan Panjang, penambangan tetap dilaksanakan.
Masyarakat Manggani bukannya tidak menyadari, kegiatan pertambangan yang mereka lakukan di areal hutan suaka alam akan berdampak hukum. Sejak tahun 2010, masyarakat Manggani mencoba melobi pemerintah agar mereka diizinkan menambang. Upaya lobi semakin kuat ketika tiga penambang ditahan pihak kepolisian karena dianggap melakukan pertambangan ilegal. Namun, usaha itu terbentur keseriusan pemerintah daerah untuk mengurusnya ke pusat.
Anggota DPRD Limapuluh Kota, Wendri Chandra Datuak Maradjo merupakan salah satu wakil rakyat yang turut memperjuangkan agar areal pertambangan Manggani bisa menjadi tambang rakyat sejak tahun 2012. “Tapi sampai sekarang upaya itu tidak berhasil. Padahal dulu sempat dibentuk panitia khusus di Komisi B DPRD Limapuluh Kota. Pemerintah daerah, khususnya bupati yang kala itu dijabat Alis Marajo tidak serius mengurusnya,” papar Wendri, Rabu (28/11) malam.
Dilanjutkan Wendri, pembentukan pansus bermula dari adanya pengaduan masyarakat Jorong Data, Nagari Koto Tinggi ke DPRD terkait bayangan hukum yang menghantui mereka dalam melakukan penambangan emas dan mangan. Masyarakat merasa kecut melakukan penambangan, walau pekerjaan itu sudah dilakukan secara turun temurun hutan Manggani yang luasnya 850 hektare, dimana 700 hektare masuk wilayah Limapuluh Kota dan 150 hektare di Kabupaten Pasaman Barat merupakan
“Pada periode itu, Komisi B DPRD Limapuluh Kota dipimpin Tedi Sutendi. Setelah menerima pengaduan, kami berangkat ke Jakarta untuk berkonsultasi dengan Kementerian Kehutanan mengenai status hutan Manggani. Apakah bisa diturunkan statusnya dari Hutan Suaka Alam Wisata (HSAW) menjadi hutan lindung, atau tidak? Jika bisa diturunkan, peluang agar Manggani menjadi tambang rakyat terbuka lebar. Kami bertemu dengan Dirjen Planologi,” papar Wendri.
Jawaban Dirjen Planalogi ketika itu menurut Wendri sangat membanggakan. Kementerian Kehutanan mau menurunkan status hutan, namun dengan catatan, adanya surat dan upaya dari pemerintah kabupaten. “Upaya membuahkan hasil karena kementerian mau mengubah status lahan. Namun itu tak pernah terlaksana sampai sekarang karena bupati tidak merespon. Kalau saja dulu direspon mungkin sekarang Manggani sudah menjadi areal pertambangan rakyat, dan mampu mengubah hidup masyarakat yang masih terpapar kemiskinan,” lanjut Wendi.
Kini, setelah ribut-ribut soal kedatangan penambang Cina, Wendri berharap pemerintah daerah dengan dibantu pihak provinsi kembali melakukan lobi ke pusat, untuk “membebaskan” Manggani. “Tidak ada kata tidak mungkin sepanjang komunikasi berjalan dengan baik. Tergantung upaya pemerintah, apakah bisa memperjuangkan aspirasi masyarakatnya atau tidak. DPRD sudah berusaha penuh,” ucap wakil rakyat dari Fraksi Demokrat itu.
Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota memang sempat mau menggarap tambang emas Manggani. Hal itu diakui Wakil Bupati Limapuluh Kota, Ferizal Ridwan, namun, terhalang kewenangan dan anggaran. Seperti diketahui, perizinan pertambangan emas sekarang bukan lagi ada di pemerintah kabupaten/kota, tapi berada di tangan pemerintah provinsi. Pemerintah kabupaten/kota hanya mengeluarkan rekomendasi saja. “Dulu memang ada ancang-ancang ingin melegalkannya, namun terganjal aturan dan pembiayaan. Selain itu, lokasi pertambangan di hutan lindung, proses pengalihan lahannya cukup rumit dan harus diurus hingga ke pemerintah pusat serta memakan waktu yang lama,” ungkap Ferizal.
Wali Jorong Pua Data, Iswandi mengakui kalau kawasan tambang emas Manggani sampai saat ini masih beroperasi. Ada sekitar 40 warga Koto Tinggi yang mengeruk emas kawasan hutan lindung yang dipercaya masih menyimpan cadangan bahan galian logam mulia sekitar 1,25 ton biji emas dan perak dengan kadar rata-rata 6 gram/ton dan 100 gram/ton perak itu. “Sekarang hanya tambang kecil. Ada 40 orang di sana yang tiap hari melakukan tambang. Hasilnya tidak terlalu banyak. Ya, sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Iswandi.
Kisah Manggani dengan polemiknya diprediksi akan terus terjadi. Tidak akan usai begitu saja, karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Akhir kisahnya menarik untuk ditunggu, apakah akan berakhir manis, serupa kisah-kisah roman kolonial, atau berdarah-darah akibat persaingan, perebutan lahan, dan perjuangan hak. Nan pasti, sejarah pertambangan dipenuhi sejarah kelam tentang perbudakan, penjajahan, dan pribumi yang hanya menerima rimah dari kekayaan alamnya. Sejarah yang dikelindani kelam, dan nasib-nasib terasing tuan rumah yang kadang tersisih dari tanahnya sendiri. (*)