BUKITTINGGI, HARIANHALUAN.COM-Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, terus berupaya memperketat pengawasan dalam melakukan penerbitan paspor. Hal ini dilakukan sebagai langkah untuk meningkatkan perlindungan pada calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Kantor Imigrasi yang melaksanakan sebagian tugas pokok dan fungsi Kementerian Hukum dan HAM di Bidang Keimigrasian, dituntut secara proaktif melakukan pengawasan dalam tahapan proses penerbitan paspor. Pengawasan itu bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan agar paspor yang diterbitkan sesuai dengan fungsinya, dan tidak disalahgunakan untuk maksud dan tujuan yang melawan hukum seperti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Demikian disampaikan Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kemkumham Sumbar Hendiartono, ketika memberikan materi pada sosialisasi Isu Aktual Kebjakan Penerbitan Paspor dan Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), yang diselenggarakan Kantor Imigrasi Kelas II Non TPI Agam, di Hotel Rocky Bukittinggi, Kamis (20/6).
Kegiatan sosialisasi diikuti oleh lurah dan camat se Kota Bukittinggi, instansi terkait, biro perjalanan, dan perwakilan masyarakat. Juga turut hadir dalam sosialisasi Kepala Imigrasi Kelas II Agam Dani Cahyadi beserta jajarannya.
Hendiartono mengatakan, kantor migrasi memiliki peran penting untuk mencegah terjadinya praktik TPPO, salah satunya adalah penundaan permohonan paspor bagi WNI yang diduga akan bekerja sebagai TKI non prosedural di luar negeri, yang dikhawatirkan berpotensi jadi korban TPPO.
TKI non prosedural itu adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di luar negeri melalui prosedur penempatan TKI yang tidak benar, seperti memalsukan dokumen dan manipulasi data dari calon TKI, mengabaikan prosedur dan mekanisme penempatan TKI yang telah diatur oleh undang-undang dan ketentuan hukum yang berlaku.
Resiko menjadi TKI non prosedural ini adalah potensi korban penipuan, dibatasi hak dan kewajiban oleh majikan, tidak ada jaminan asuransi, tidak mendapat perlindungan secara maksimal dari pemerintah, ditangkap, dipenjara dan dideportasi oleh aparat kemanan negara setempat.
“Latar belakang terjadinya TKI non prosedural ini adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang prosedur penempatan dan perlindungan TKI, serta adanya salah persepsi memaknai TKI. Untuk mencegah terjadinya TKI non prosedural ini, maka Imigrasi memperketat pengawasan dalam penerbitan Paspor tersebut,” kata Hendiartono.
Sementara itu Direktorat Jenderal Imigrasi Ismoyo dalam materinya mensosialisasikan tentang keimigrasian dan prosedural pembuatan paspor. Menurutnya, pembuatan paspor sekarang harus melalui antrian online, dimana masyarakat bisa mendownload aplikasi antrian layanan paspor online pada android .
Untuk pengurusan paspor tentu harus dilengkapi berbagai persyaratannya, seperti E-KTP, kartu keluarga, akta lahir/ijazah, atau surat nikah. Persyaratan yang diajukan tidak boleh ada perbedaan identitas, seperti nama dan tanggal lahir. Jika ada perbedaan data maka pemohon harus memperbaiki data-data tersebut terlebih dahulu.
“Pembuatan paspor agar dilakukan oleh pemohon sendiri, jangan melalui calo karena pemohon sendiri yang rugi. Saat ini pembuatan paspor sudah mudah karna prosedur dan persyaratan sudah transparan. Bagi masyarakat yang telah memiliki paspor, namun paspor yang bersangkutan hilang maka akan dikenai denda Rp 1 juta. Sedangkan untuk paspor rusak akan dikenai denda Rp 500 Ribu,” ujarnya.(tot)