Jakarta, HarianHaluan.com – Sri Lanka diklaim bangkrut. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya negara yang berada di Asia Selatan tersebut gagal membayar utang luar negeri (ULN) yang mencapai US$51 miliar atau Rp754,8 triliun (asumsi kurs Rp14.800 per dolar AS).
Seperti yang diketahui, Negara berpenduduk 22 juta orang itu mengalami krisis ekonomi terburuk setelah kehabisan devisa untuk membiayai impor sejumlah komoditas termasuk makanan, bahan bakar, dan obat-obatan
Terkait hal ini, Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe mengatakan negara Asia Selatan itu menghadapi situasi yang jauh lebih serius dari sekadar kekurangan bahan bakar, gas, listrik dan makanan.
Baca Juga: Darurat Militer, Krisis Ekonomi Sri Lanka Berujung Aksi Kekerasan
"Kami sekarang melihat tanda-tanda kemungkinan jatuh ke titik terendah," kata Wickremesinghe dikutip dari Bloomberg, Kamis (23/6/2022).
Lebih lanjut, Wickremesinghe menyebut Sri Lanka telah menyelesaikan diskusi awal dengan IMF dan bertukar pikiran tentang keuangan publik, keberlanjutan utang, sektor perbankan dan jaminan sosial.
"Kami bermaksud untuk masuk ke dalam kesepakatan tingkat resmi dengan IMF pada akhir Juli," tuturnya
Sri Lanka sendiri saat ini sudah terjebak oleh krisis pangan dan energi akibat kurangnya cadangan devisa yang dimiliki negara itu. Bahkan, inflasi di Negeri Ceylon itu telah melonjak hingga 33%
Krisis devisa ini salah satunya disebabkan untuk membayar utang luar negeri. Diketahui, Sri Lanka paling banyak berutang kepada China dan India.
Baca Juga: Kesulitan Bayar Utang, Sri Lanka Barter Pakai Teh
Selain itu, sumber pemasukan devisa Sri Lanka lainnya seperti dari sektor pariwisata juga menurun. Sektor pendapatan ini semakin terpukul karena pandemi Covid-19.
Artikel Terkait
Sri Lanka Akan Larang Burka Secara Permanen dengan Alasan Keamanan Nasional
Penemuan Batu Safir Biru 'Ratu Asia' Hebohkan Sri Lanka
Peringati KAA, LaNyalla Ingatkan Kasus Sri Lanka yang Terjerat Utang Alat Kolonialisme Baru