HARIANHALUAN.COM- pakar ekonomi Rizal Ramli membandingkan krisis ekonomi 1998 dengan kondisi negara saat ini yang dinilainya telah mengalami krisis ekonomi.
Rizal Ramli mengatakan ada perbedaan krisis ekonomi dan politik 1998 dengan kondisi ekonomi negara saat ini.
"Hari ini krisis itu sudah mulai bukan tahun depan," lanjut dia.
Baca Juga: Tanpa Didesak! Ketum PSSI Iwan Bule Tegaskan akan Mundur dengan Sendirinya, Ini Jadwal Waktunya
Bedanya hari ini, ujar dia, hutang swasta sangat terkendali bahkan mereka (swasta) gegara kenaikan harga komoditas di dunia, oligarki pemilik tambang, sawit sangat kaya raya.
"Mereka lagi pada pesta semua.Tapi hutang negara sudah berlebihan, sebetulnya sudah jebol karena untuk bayar bunganya saja pemerintah Indonesia tidak sanggup," katanya.
Hutang negara, ujar dia, bunganya Rp405 triliun pokoknya Rp400 triliunan total Rp805 triliun pada kurs Rp14.500 per dolar AS. Hari ini kurs sudah diatas Rp15 ribu. "Mestinya totalnya Rp830 triliun kali," kata dia.
Dia mengatakan sekarang yang bermasalah hutang negara karena pengeluaran jor-joran.
"Dia (negara) tidak mampu bayar. Cara bayarnya bagaimana? satu dengan terus menerus menerbitkan obligasi, bon, surat hutang. Yang kedua dengan menaikkan harga kebutuhan publik. Naikin BBM supaya bisa nyicil hutang, naikin tarif listrik, PPN dan menaikkan lain sebagainya,"
"Jadi ketidakmampuan pemerintah membayar cicilan pokok bunga hutang, dibebankan kepada rakyat," sebut dia.
Sehingga, imbuhnya, karena negara tergantung surat hutang maka kalau ada gejolak ekonomi Internasional, pasti keteteran.
"Bedanya dibandingkan dengan 98 yang krisis itu perusahaan-perusahaan konglomerat swasta. Tapi hutang negara terkendali dan relatif aman. Yang tidak aman itu hutang swasta. Akhirnya mereka (perusahaan swasta) gak mampu bayar dan rupiah anjlok dan terjadilah krisis ekonomi dan politik," ujar Rizal Ramli dikutip Harian Haluan pada Kamis, 20 Oktober 2022 dari YouTube miliknya.
Pihaknya mengaku bahwa dua tahun sebelum krisis 1998 sudah meramalkan akan terjadi krisis, tepatnya Oktober 1996 dalam laporan setebal 150 halaman.
Tapi, lanjut dia hal itu dibantah oleh IMF dan Bank Dunia yang menyebutkan Indonesia ketika itu sehat, kuat dan dibantah Gubernur Bank Indonesia. "Gk benar! Indonesia bagus, Indonesia sehat," kata dia menirukan bantahan.