Namun hal tersebut tidak disetujui oleh beberapa pihak.
Terlebih menyusul pada bulan Agustus 1993, Soesilo Sudarman seorang Menteri Koordinator Bidang Politik dan HAM mengatakan bahwa hasil Kongres Medan tersebut tidak sah maka perlu untuk diselenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya.
Pada masa tersebutlah Megawati dicalonkan menjadi kandidat ketua umum PDI 1993.
Bak gayung bersambut Megawati mendapat dukungan yang banyak dari berbagai Dewan Pimpinan Cabang dan lebih dari 100 orang.
Sehingga dalam KLB Surabaya maupun Musyawarah Nasional (Munas) Megawati berhasil ditunjuk menjadi Ketua Umum PDI.
Hingga kemudian semenjak itu tubuh PDI mulai terpecah menjadi dua kubu yakni pro Megawati dan pro Suryadi.
2. Peristiwa berdarah 'Kudatuli' dan dualisme kepempimpinan di tubuh PDI
Kemenangan dalam memperoleh suara Megawati tersebut sudah barang tentu membuat Suryadi dan pendukungnya termasuk dukungan pemerintahan Soeharto tidak suka.
Perpecahan antar kubu yang pro dengan Megawati dan pro Suryadi menjadi tak terelakan.
Hingga tahun 1996 kubu Suryadi tetap berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya.
Sebagaimana ditandai dengan adanya KLB Medan pada tanggal 23-26 Juni 1996, dimana hasilnya Suryadi menjadi Ketua Umum PDI.
Meski Megawati selaku Ketua Umum PDI versi Munas tersebut tidak menghadiri kongres tersebut.
Tak ayal dualisme kepemimpinan di tubuh PDI menjadi semakin memanas dan menguat.
Sebagai puncaknya pada tanggal 27 Juli 1996 terjadi peristiwa berdarah Kudatuli (Kudeta 27 Juli) tercatat sebanyak 5 orang tewas, 149 luka serta 23 orang dinyatakan hilang (Dilansir Harianhaluan dari Komnas HAM dalam Tirto.id).
3. Kemenangan Megawati dan wajah baru PDI-P