HARIANHALUAN.COM - Money politic atau politik uang seolah menjadi hal yang sudah lazim dijumpai di tengah masyarakat menjelang Pemilu.
Tak usah jauh-jauh dari Pemilu, pemilihan di tingkat terkecil pemerintahan, semisal kepala desa saja masih kerap diwarnai dengan aksi politik uang.
Padahal seharusnya para pejabat yang memberi sudah tahu haramnya politik uang, namun hal itu kerap dinormalisasikan bahkan seolah sudah dianggap sebagai syarat wajib terutama jelang Pemilu.
Menurut Juliansyah (2007), politik uang adalah suatu upaya untuk mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan atau tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (voters).
Penormalisasian politik uang dapat terjadi karena adanya anggapan bahwa uang yang diberikan hanya sebagai wujud ganti rugi atau imbalan atas waktu yang telah dikorbankan pemilih, namun dengan catatan adanya arahan agar memilih calon tertentu.
Baik penerima maupun pemberi seolah menganggap politik uang sebagai hal yang sudah lazim, bahkan mirisnya apabila tidak ada akan terasa ada yang kurang.
Terkadang dari sisi calon pemimpin khawatir jika tidak menggunakan imbalan (materi) maka ia tidak akan dipilih. Sebaliknya masyarakat juga kadang menunggu adanya imbalan dari para calon. Dengan demikian praktik politik uang atau jual beli suara akan semakin tersistem dan semakin sulit untuk diurai.
Wah gawat bukan? mungkin masyarakat yang awam terutama dari kalangan menengah bawah, memang belum tahu haramnya politik uang yang dapat menodai asas LUBERJURDIL (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil) dalam Pemilu karena telah membeli hak suara dan pendapat mereka meski seringkali tanpa mereka sadari.
Eksistensi politik uang tak dibenarkan dalam pemilihan mana pun, namun faktanya praktik tersebut masih berkembang dengan subur di tengah masyarakat bahkan secara tidak langsung tersistem secara ilegal.
Sebagaimana dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terutama Pasal 523 yang secara terang telah melarang adanya politik uang bahkan memasukkannya sebagai salah satu tindak pidana yakni dengan hukuman pidana paling rendah 2 tahun hingga 4 tahun dan dengan denda paling rendah 24 juta hingga 48 juta.
Berikut dampak negatif dari politik uang dilansir Harianhaluan.com dari Bawaslu Jateng:
1. Merendahkan martabat rakyat
Karena seolah suara rakyat dapat dibeli dengan uang atau materi dan menjadikan rakyat hanya sekedar sebagai objek politik.
2. Menimbulkan ketergantungan dan ketidakmandirian masyarakat secara politik
Artikel Terkait
Sindir Jokowi Soal Kaesang Terjun Politik, Dokter Tifa: Ternyata Omongannya Berubah 180 Derajat
Bocorkan Target Kaesang Pangarep Terjun ke Politik, Gibran: Aku Bingung dan Agak Syok...
Kaesang Tertarik Masuk Politik, Langkah Perlahan Jokowi Bangun Dinasti?
Kaesang Pangarep Terjun ke Politik, PSI: Monggo Mas Kaesang Kita Berjuang Bersama
Pesan Warganet Jika Kaesang Terjun ke Politik, Langsung Singgung Inilah Rusaknya Era Reformasi!
Ungkap Kemampuan Kaesang Terjun ke Politik, Gibran: Belajarnya Cepat
Sandiaga Uno Tantang Fadli Zon Bongkar Perjanjian Politik Prabowo Anies, Ada Apa?
Kalimat Halus Hasto soal Jokowi Bertemu Surya Paloh Isu Reshuffle: Ada yang Salahgunakan untuk Politik Sesaat
Sandiaga Uno Beberkan Janji Politik Prabowo dan Anies Baswedan
Peran Kunci Samanhudi Eks Wali Kota Blitar yang Dalangi Perampokan Rumah Dinas, Benar Motif Politik?