HARIANHALUAN.COM - Masyarakat Sumatra Barat (Sumbar) sempat dihebohkan dengan dugaan penculikan yang dilaporkan dua siswa SD yang sama-sama berusia 11 tahun di Lubuk Begalung (Lubeg) Kota Padang dan di Kabupaten Solok.
Meskipun kemudian dikabarkan, kedua penculikan tersebut merupakan karangan si anak, dimana yang satu takut terlambat ke sekolah sedangkan yang satu lagi berbohong karena menghindari orangtuanya yang sering bertengkar kemudian memilih pulang kembali ke rumahnya.
Psikolog yang juga Alumni Unand dan UGM, Alfi Rahmadini mengatakan jika menggunakan pendekatan teori Erik Eriksom, anak yang berusia 11 tahun masuk dalam tahap perkembangan Industry vs inferiority. Dimana tahap kognitifnya yaitu operasional konkret.
Baca Juga: Bupati Solok Terima Penghargaan dari Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
"Pada masa sekolah 6-11 tahun atau ada juga yang menyebut 12 tahun, mereka menghadapi tantangan sosial dan akademik. Dengan tahap perkembangan kognitif operasional konkret si anak kecil menggunakan pemikiran llgis yang menerapkan logika pada objek fisiknya," ujarnya.
Pada masa itu, sambung psikolog asal Batu Sangkar ini, anak akan semakin banyak pengetahuannya. Perilaku yang dimunculkan bisa saja terjadi disebabkan karena menginginkan sesuatu (mendapatkan penguatan atau reinforcement) atau menghindari sesuatu (seperti hukuman atau punishment).
"Dari informasi disebutkan lada kasus ini, si anak ingin menghindari sesuatu. Yang satu menghindari kena marah atau hukuman akibat terlambat yang satu lagi menghindari pertengkaran orangtua," ujarnya.
Alfi menambahkan, memang kedua anak cukup berani dan pintar mengarang cerita sehingga mengagetkan orang lain. Namun disisi lain, ada pengaruh seperti media sosia, tv atau mungkin mendengar cerita-cerita sehingga anak paham dan terfikir ada skenario penculikan seperti itu.
Baca Juga: Respon Isu Penculikan Anak, Kapolsek Kota Bukittinggi Perintahkan Personel Tingkatkan Pengawasan
"Karena pada tahap itu masih berpikir konkret belum abstrak. Saat dia tau ada alur cerita seperti itu, sehingga ia juga membuat cerita yang sama," tuturnya.
Selain itu, ada kondisi tindak nyaman atau takut yang dirasakan anak saat menghadapi permasalahan akademik atau sosial tersebut.
"Misalnya seperti apa hukuman dari orangtua atau gurunya jika ia terlambat atau tidak masuk sekolah, atau saat orangtua bertengkar ada rasa takut atau tidak nyaman pada dirinya," ucapnya.
Pada tahap usia ini, ia menambahkan anak ingin disenangi dan disukai secara sosial.
Orangtua dan guru, perlu mengedukasi agar perilaku yang salah dapat diperbaiki dan dibentuk lagi.
"Memang peran orangtua, guru sangat penting dalam memberikan nilai benar salah, yang mana yang boleh yang mana yang tidak. Juga dibalik perilaku apa saja dampaknya," ujarnya.