"Masa Pandemi, orangtua tidak mau membawa anaknya ke Puskesmas. Juga berkembang isu setelah imunisasi anak jadi demam. Padahal kalau demam itu bagus, artinya ada respon dari tubuh. Kemudian hoax halal haram vaksin, padahal MUI sudah mengeluarkan fatra dan sudah sepakat membolehkan. Dari kawan-kawan media perlu untuk meluruskan," tuturnya.
Terkait kasus campak yang juga sedang ramai, dikatakannya merupakan rekapitulasi selama tahun 2022.
"Sumbar menjadi kasus KLB terbanyak karena akumulasi selama tahun 2022. Sejak Januari kasus meningkat sampai di puncak bulan Juni 2022. Namun dari Juli hingga Desember 2022 kasus terus turun drastis hingga 0 kasus pada Desember," ucapnya.
Ia merinci awalnya Januari ada 6 kasus, Februari 27 kasus, Maret 58 kasus, April 91 kasus, Mai 102 kasus, Juni 296 kasus. Juli 188 kasus, Agustus 43 kasus, September 37 kasus, Oktober 8 kasus, November 1 kasus dan Desember 0 kasus.
"Bukan KLB, tapi kasus positif. Jadi paling banyak kasus di Juni. Waktu itu sudah dibuat surat edaran untuk mengeluarkan instruksi gubernur terkait data itu di bulan Juni. Dan turun drastis sejak itu," ucapnya.
Kemudian untuk KLB di Sumbar, sambungnya ada 25 frekuensi kejadian dengan kasus terbanyak di Padang.
Yun Efiantina kondisi bisa disebut Kejadian Luar Biasa (KLB) jika minimal ada dua kasus positif labor dan ada hubungan epidemiologis dari dua kasus itu.
"Misalnya dia orang bertetangga sama-sama terdeteksi positif. Kalau satu kasus beda-beda tempatnya itu bukan KLB. Kemudian yang disampaikan 5 kasus dari Kemenkes, itu baru suspek belum diuji labor. Sebab kalau sudah keluar hasil, baru positif pasti. Namun juga belum bisa disebut KLB kalau tidak ada hubungan epidemiologis," katanya.
Yun juga menanggapi, terkait informasi Dinas Kesehatan akan dipanggil DPRD Provinsi terkait kasus ini.
"Kalau dipanggil ya tidak masalah karena Kadis punya data lengkap. Kita akan jelaskan agar tidak simpang siur," ucapnya. ***