Selalu ada yang pertama dan yang pertama akan selalu dikenang.
Dari banyak bidang dalam Linguistik, Neuorolinguistik adalah bidang yang paling sedikit doktornya di Indonesia karena bidang ini baru berkembang di negara ini. Hingga kini, hanya ada beberapa doktor Neurolinguistik di Indonesia. Gusdi Sastra, Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unand), adalah salah satunya, bahkan yang pertama.
Laporan: Holy Adib
Gusdi ditetapkan sebagai doktor Neurolinguistik setelah lulus dari Putra Universiti pada 2005 dengan disertasi berjudul Ekspresi Verbal Penderita Stroke: Tinjauan Neurolinguistik. Pada disertasi itu, ia meneliti penutur bahasa Minangkabau dan penutur bahasa Melayu yang menderita strok.
“Saat mengambil program doktoral di Malaysia, bidang promotor saya adalah psikolinguistik. Namun, salah satu kopromotor dan penguji eksternal saya merupakan seorang dokter syaraf karena Neurolinguistik adalah interdisipliner antara ilmu bahasa dan ilmu syaraf atau neurologi,” ujar pria kelahiran Batusangkar pada 18 Agustus 1964 itu di Padang, Jumat (10/11).
Ketika meraih gelar doktoral pada bidang Neurolinguistik, Gusdi menyatakan, waktu itu, di Indonesia belum ada doktor Neurolinguistik. Sepengetahuannya, saat ini ada beberapa doktor Neurolinguistik, yakni Ikhwan M. Said (Universitas Hasanuddin) dan akan menyusul seorang lagi doktor Neurolinguistik dari Universitas Udayana. Adapun menurut Totok Suhardiyanto (guru besar Linguistik Universitas Indonesia), ada dua orang lagi doktor Neurolinguistik, yakni Harwinta Salyo (UI) dan Tengku Silvana Sinar (Universitas Sumatra Utara). Sementara itu, lulusan magister Neurolinguistik sudah banyak di Indonesia, baik yang meneliti aspek gangguan otak kiri maupun otak kanan, termasuk gangguan pragmatik dalam berkomunikasi.
Sejak menjadi doktor Neurolinguistik, Gusdi, hingga kini, konsisten meneliti Neurolinguistik, khususnya mengenai gangguan berbahasa, gangguan berbicara, gangguan berpikir, dan terapi wicara dari aspek linguistik melalui analisis kasus gangguan, juga bioakustik, untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi penderita gangguan wicara.
”Riset saya selalu dalam roadmap penelitian di bawah payung Neurolinguistik dan Psikolinguistik karena keduanya tidak terpisahkan: yang satu masalah pemerolehan dan pembelajaran berbahasa, sedangkan yang satu lagi masalah gangguan dalam berbahasa,” ujar ketua Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) Cabang Unand itu, satu-satunya cabang MLI di Sumatra Barat.
Awal mengenal Neurolinguistik
Gusdi mengenal Neurolinguistik ketika kuliah S-1 Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Unand pada 1984 melalui mata kuliah Psikolinguistik, bukan mata kuliah khusus Neurolinguistik. “Sebenarnya, saya bercita-cita menjadi dokter. Karena itu, setelah tamat SMA, saya ingin masuk Jurusan Kedokteran, tetapi diterima di Fakultas Sastra. Ketika kuliah, saya baru tahu ada bidang linguistik. Ada mata kuliah Psikolinguistik, yang membahas masalah biologi bahasa dan psikologi dengan bahasa, sehingga saya menjadi makin tertarik. Dari mata kuliah inilah saya mengenal Neurolinguistik,” ujarnya.
Gusdi menamatkan S-1 dengan Jurusan Linguistik, khususnya bidang Linguistik Komparatif (perbandingan bahasa) pada 1988. Skripsinya pada bidang tersebut adalah Leksiko Statistik dan Glotokronologi Bahasa Penghulu Jambi. Ia mengambil bidang Linguistik Komparatif karena ketika ingin menulis skripsi tentang Psikolinguistik, ia disarankan untuk menulis Linguistik Komparatif karena sebab dijanjikan akan dikirim ke Jerman. Waktu itu, ada kerja sama Unand dengan Frankfurt University. Namun, setelah ia tamat, kerja sama tersebut terhenti.
Setelah lulus S-1, Gusdi diterima sebagai dosen di Fakultas Sastra Unand pada 1991. Pada 1992, ia mendapatkan beasiswa S-2 dari Dikti ke UI.
Meski menyukai Neurolinguistik sejak S-1, Gusdi tidak mendalami Neurolinguistik saat S-2, tetapi melanjutkan bidang Linguistik Komparatif. Ia meraih gelar M.Hum di UI pada 1994 dengan judul tesis Rekonstruksi Fonologi Bahasa Kerinci. Waktu itu ia memilih lagi Linguistik Komparatif, selain karena belum ada pembimbing bidang Neurolinguistik di UI, juga karena kedekatannya dengan profesor Linguistik Komparatif, yakni Gorys Keraf dan Prof. Multamia.
“Mereka menyarankans saya meneliti sejarah bahasa. Akhirnya, cita-cita saya untuk meneliti bidang Neurolinguistik belum terwujud ketika itu. Namun, setelah melihat bahasa dalam aspek perbandingan, saya bertekad mengkaji bagaimana sebetulnya proses bahasa terjadi di otak manusia dengan jumlah bahasa yang ribuan adanya di dunia ini,” tuturnya.
Meski demikian, saat kuliah di UI, Gusdi mengenal Totok Suhardiyanto, teman yang membuatnya makin tertarik dengan Neurolinguistik.
“Saya mengenal teman di UI yang meneliti afasia untuk tesis S-2-nya, yaitu Bapak Totok Suhardiyanto. Darinya, saya makin tertarik mendalami Neurolinguistik. Namun, sayangnya, saat S-3 di Jepang, Pak Totok pindah ke Komputasi Linguistik,” tutur peneliti berprestasi I Bidang Sosial (Unand, 2006) itu.
Saat dihubungi Haluan melalui Whatsapp, Jumat (10/11), Totok mengatakan, ia merupakan orang kedua yang membuat skripsi Neurolinguistik di Indonesia (1993), sedangkan yang pertama adalah Yundafi Husni dari Universitas Hasanuddin (1987), dan yang ketiga adalah Luita Ari Wibowo dari Universitas Airlangga (1995).
Kembali pada kisah Gusdi mendalami Neurolinguistik, pada 1998—2000, ia mengikuti program beasiswa research student dari Pemerintah Jepang pada 1998—2000. Di sana, ia mempelajari bidang Psikolinguistik di Gifu University. Ketika belajar di sanalah ia tertarik dengan masalah gangguan berbahasa. Seorang profesor Jepang di sana menyarankannya ke Malaysia untuk melanjutkan S-3 dengan bidang Neuropsikolinguistik. Atas saran itu, ia mengambil S-3 di Putra Universiti pada 2002—2005.
“Saat belajar di Jepang, saya ingat lagi impian saya untuk meneliti bahasa dari aspek psikologi. Ketika di sana, saya ingin mempelajari Neurolinguistik lebih dalam lagi walau saat S-2 saya cukup sering membaca buku Neurolinguistik,” kata dosen berprestasi Harapan III (Unand, 2007) itu.
Setelah lulus S-3, Gusdi mendalami bidang terapi wicara saat mengambil program posdoktoral di Hamburg University, Jerman, pada 2009—2010.
“Saya mencari sendiri program beasiswa tersebut untuk meneliti terapi wicara. Di Jerman ada logopedia, yakni tempat-tempat yang disediakan Pemerintah Jerman untuk melakukan terapi wicara bagi masyarakat yang mengalami gangguan wicara. Di Jerman, penggunaan bahasa harus standar. Jadi, apabila ada masyarakat Jerman salah menggunakan bahasa Jerman atau menggunakan bahasa tidak standar, dirujuk ke logopedia,” ujarnya.
Penelitian lima tahun terakhir
Gusdi telah melakukan banyak penelitian Neurolinguistik. Berikut beberapa di antara penelitian Neurolinguistik yang ia lakukan selama lima tahun terakhir: Model Terapi Bahasa untuk Peningkatan kemampuan Berbicara Penderita Disartria pada 2012 (biaya DIPA Unand), Penyusunan Model Terapi Wicara untuk Penderita Berbagai Gangguan Berbahasa dan Gangguan Berbicara (Tahap I pada 2013 dan Tahap II pada 2014) (biaya Hibah Kompetensi), Analisis Bioakustik Melalui Spektogram Speech Analyzer untuk Menguji Peningkatan Komunikasi Berbagai Gangguan Berbahasa dan Berbicara (Tahap I pada 2015 dan Tahap II Pada 2016) (biaya Hibah Kompetensi), dan Bioakustik bagi Penyandang Disabilitas Gangguan Pendengaran untuk Meningkatkan Kecepatan Pemahaman Bahasa Isyarat pada 2017 (biaya Hibah Strategi Nasional).
“Saya bekerja sama dengan dokter saraf, dokter jiwa, dorter gigi, dan dokter THT (telinga, hidung, dan tenggorokan) selama melakukan penelitian Neurolinguistik,” tutur Gusdi.
Diktat dan buku linguistik karya tunggal
Sebagai pakar Neurolinguisti, Gusdi telah melahirkan beberapa karya pada bidang tersebut, baik berbentuk diktat maupun buku: Diktat Aliran Linguistik: Perjalanan Sejarah Kajian Bahasa (2001), diktat Terapi Wicara secara Neurolinguistik (2015), buku Neurolinguistik: Suatu Pengantar (Alfa Beta Publishing, 2011), Buku Bahasa dan Strok (Andalas University Press, 2014), buku “Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) (Andalas University Press, 2016), buku Pengantar Neurolinguistik (Cetakan II) (Andalas University Press, 2016). Kini sedang menulis buku Bioakustik Wicara.
Ke depan, bersama bersama mahasiswa bimbingannya yang meneliti Neurolinguistik, Gusdi ingin membangun klinik terapi wicara Neurolinguistik.
“Ke depan, saya juga ingin meneliti gangguan pragmatik. Gangguan pragmati merupakan aspek terganggunya fungsi otak kanan dalam berkomunikasi,” katanya. (*)
Editor: Bhenz Maharajo