Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia masih harus menghadapi berbagai hal. Kalahnya Jepang pada Perang Dunia Kedua membawa pasukan sekutu untuk menaklukan kembali Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya beberapa perang di berbagai daerah. Perang yang terjadi antara lain, Pertempuran Surabaya, Pertempuran Ambarawa, dan Bandung Lautan Api. Untuk mengurangi kerugian yang terjadi, kedua belah pihak melakuakn beberapa perundingan dan konferensi yang membentuk beberapa perjanjian.
Baca Juga: Pengertian, Unsur dan Fungsi Sejarah
Berikut 5 perjanjian dalam rangka menjaga kedaulatan NKRI.
1. Perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947)
Perundingan pertama antara Indonesia dan Belanda setelah proklamasi adalah perundingan Linggarjati. Perundingan dilakukan di Subang Jawa Barat pada 10-15 November 1946 dan disahkan pada 25 Maret 1947.
Wakil Indonesia adalah Sutan Sjahrir dan wakil dari Belanda adalah Prof. Schermerhorn.
Berikut isi Perjanjian Linggarjati:
1. Belanda mengakui RI secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatra.
2. Dibentuknya negara negara federal dengan nama Republik Indonesia Serikat, dimana RI menjadi salah satu negara bagiannya.
3. Pembentukan Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala uni.
2. Perjanjian Renville (17 Januari 1948)
Setelah perjanjian sebelumnya, pihak Belanda tetap melanggar perjanjian tersebut dan melakukan Agresi Militer I secara serentak pada 21 Juli 1947 di kota-kota besar di Jawa dan Sumatera.
Dunia internasional mengecam tindakan Belanda yang melanggar perjanjian tersebut. PBB kemudian turun tangan dengan membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) untuk menyelesaikan masalah ini.
Anggota KTN, yaitu Australia sebagai wakil Indonesia (Richard C. Kirby), Belgia sebagai wakil Belanda (Paul Van Zeeland), dan Amerika Serikat sebagai penengah (Prof. Dr. Frank Graham).
Perundingan kedua ini membahas tentang masalah agresi militer Belanda dan dilakukan di atas kapal Amerika serikat, USS Renville, pada 17 Januari 1948. Kapal USS Renville berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Delegasi dari Indonesia diketuai oleh Perdana Menteri Amir Syarifudin dan Belanda memilih seorang Indonesia bernama R. Abdulkadir Wijoyoatmojo sebagai ketua.
Isi Perjanjian Renville:
1. Belanda tetap berdaulat sampai terbentuknya RIS.
2. RI memiliki kedudukan sejajar dengan Belanda.
3. RI menjadi bagian RIS dan akan diadakan pemilu untuk membentuk Konstituante RIS.
4. Tentara Indonesia di daerah Belanda atau daerah kantong harus dipindahkan ke wilayah RI.
Baca Juga: Sejarah Wayang Kulit Warisan Budaya Khas Indonesia
3. Perjanjian Roem-Royen (7 Mei 1949)
Lagi-lagi, Belanda melanggar janji dengan melakukan Agresi Militer II. Akibat dari serangan tersebut, Indonesia mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatera Barat serta mengganti presiden Soekarno. Presiden sementara saat itu adalah Syafruddin Prawiranegara.
Tindakan dari Belanda ini kembali mendapatkan kecaman keras dari dunia internasional. Pada 7 Mei 1949, perundingan kembali diadakan. Perundingan ini dinamakan Perundingan Roem-Royen yang digelar di Jakarta. Ketua delegasi dari Indonesia adalah Mr. Moh. Roem, dan wakil dari Belanda diketuai oleh Dr. J. H. Van Royen. Perjanjian ini ditengahi oleh mediator UNCI bernama Merle Cochran.
Isi Perjanjian Roem-Royen:
1. Menghentikan perang gerilya dan Indonesia-Belanda bekerja sama memelihara ketertiban dan keamanan.
2. Kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta dan bersedia turut serta mengikuti Konferensi Meja Bundar yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat.
4. Konferensi Inter-Indonesia (19-30 Juli 1949)
Konferensi Inter-Indonesia diadakan sebelum pelaksanaan Konferensi Meja Bundar. Konferensi ini dihadiri oleh RI dan BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) atau Badan Permusyawaratan Federal yang terdiri dari negara-negara boneka buatan Belanda.
Perundingan ini diselenggarakan di Yogyakarta pada 19-22 Juli 1949 lalu dilanjutkan di Jakarta, 30 Juli 1949.
Hasil konferensi ini adalah negara yang dibentuk bernama RIS, APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) adalah angkatan perang nasional, dan TNI menjadi inti APRIS.
5. Konferensi Meja Bundar (2 November 1949)
Sesuai dengan hasil dari Perjanjian Roem-Royen, Konferensi Meja Bundar (KMB) diadakan di Den Haag, Belanda yang berlangsung pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. Delegasi Indonesia dipimpin oleg Drs. Moh. Hatta, dan delegasi dari BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II.
Isi Konferensi Meja Bundar:
1. Belanda mengakui kedaulatan Indonesia paling lambat 30 Desember 1949.
2. Indonesia berbentuk negara serikat dan merupakan sebuah uni dengan Belanda.
3. Uni Indonesia-Belanda dipimpin oleh Ratu Belanda.
4. Permasalahan Irian Barat yang merupakan daerah perselisihan akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
Hasil perundingan tersebut merupakan hasil maksimal yang bisa didapat meskipun banyak pihak yang tidak puas. Pada 27 Desember 1949, dilakukan penyerahan kedaulatan dari belanda kepada RIS.
Belanda juga dipaksa keluar dari wilayah RI yang ditandai dengan upaca pengakuan kedaulatan Indonesia yang merupakan tindak lanjut dari hasil KMB.
Ternyata, perjuangan Indonesia untuk menjaga kedaulatan harus mengalami perjalanan yang panjang. Indonesia terus berjuang untuk diakui kemerdekaannya. Semua rakyat berjuang untuk menjaga kedaulatan. Oleh karena itu, kita juga harus terus menjaga kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia di negeri sendiri maupun kancah internasional.
Artikel Terkait
Geguritan Bahasa Jawa: Sejarah, Ciri-Ciri dan Contohnya Deskripsi: Sebagai
Pengertian, Unsur dan Fungsi Sejarah