Tantangan Kependudukan Atas Fenomena 'Childfree'

Milna Miana
- Kamis, 16 September 2021 | 06:39 WIB
Filka Khairu Pratama, S.Sos, Analis Bina Ketahanan Remaja Perwakilan BKKBN Sumatera Barat
Filka Khairu Pratama, S.Sos, Analis Bina Ketahanan Remaja Perwakilan BKKBN Sumatera Barat

Saat ini seluruh ahli kependudukan dunia sedang gencar melakukan kampanye pengendalian jumlah penduduk. Penduduk dunia tahun 2021ini menurut Worldometers.info diperkirakan mencapai 7.854.965.732 jiwa atau sebesar 7,85 miliar jiwa. Indonesia menempati jumlah keempat terbanyak dengan 273 juta jiwa penduduk.

Oleh: Filka Khairu Pratama, S.Sos, Analis Bina Ketahanan Remaja Perwakilan BKKBN Sumatera Barat

Strategi pengendalian penduduk yang dilakukan sejumlah pihak tampaknya bukan tanpa alasan. Salah satunya tentu karena keterbatasan sumberdaya yang ada dibumi, sedangkan kebutuhan manusia tiada batasnya. Pada era kekinian yang semakin modern, ditandai dengan semakin tingginya peradaban pendidikan, teknologi, maupun pekerjaan, membuat perilaku dan kebiasaan orang mulai berubah.

Dahulu, bagi kaum perempuan ada dikenal dengan semboyan "banyak anak banyak rezeki", "aktivitas kaum perempuan sebatas faktor rumah tangga saja". Sekarang semboyan itu sepertinya kurang diminati masyarakat karena angka kelahiran rata-rata wanita usia subur per tahun 2019 sudah 2,4 secara nasional. Begitupun sektor pekerjaan yang telah banyak jenisnya digeluti kaum perempuan, sehingga lebih terlihat aspek emansipasi.

Tingginya kecenderungan tingkat pendidikan, dan semakin sibuknya pasangan usia subur untuk bekerja ternyata menimbulkan tren baru yang mulai muncul fimasyatakat yang ternyata hal ini cukup mensarik dianalisis. Fenomena kependudukan sejak dshulu memsng mensrik dan strategis untuk dibicarskan, karena sifatnya yang dinamis. Hasil kajian kependudukan tifsk jarang sangat bermanfaat sebagai mssukan pemerintah melihat kondisi sosial yang berkembang.

Baru-baru ini istilah childfree ramai diperbincangkan. Istilah ini digunakan bagi orang yang sudah menikah namun memilih sikap untuk enggan memiliki keturunan. Baik itu anak kandung, anak tiri maupun anak adopsi.

Ada banyak alasan yang melatarbelakangi komunitas yang mengaku diri sebagai Childfree Community, di antaranya adalah kekhawatiran genetik, faktor finansial, mental yang tidak siap menjadi seorang ibu, bahkan alasan lingkungan.

Baru-baru ini, jagat maya sempat ramai oleh pemilik media sosial bernama Gita Savitri atau populer dengan nama Gitasav, mengungkapkan sebenarnya sudah lama keputusannya untuk memilih childfree atau tidak memiliki anak setelah menikah. Menurut dia, punya anak atau tidak merupakan sebuah pilihan hidup, alih-alih kewajiban.

Hal ini tampaknya mulai menjadi realitas sosial pada masyarakat modern. Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair), Bagong Suryanto, mengungkapkan perempuan yang tidak ingin punya anak adalah perkembangan baru dan sah-sah saja dilakukan. Dia menambahkan, pada zaman dulu, status dan eksistensi perempuan dilihat dari seberapa banyak dia melahirkan anak. Seiring perkembangan zaman, kelihatannya indikator ini mulai berubah. Kesuksesan perempuan tidak lagi diukur dari ranah domestik, melainkan berdasarkan sektor publik seberti karir, prestasi, dan pencapaian baru lainnya.

Bagong menyebutkan ada dua kemungkinan yang menjadi alasan seseorang atau pasangan memilih childfree. Pertama adalah usia. Mereka tidak ingin punya anak karena masih muda. Keinginan untuk bisa bebas menikmati hidup dengan tidak ada tanggungan seperti anak.

Sedangkan alasan kedua adalah hasrat untuk meniti karir. Untuk mencapai kesuksesan karir, tidak sedikit perempuan yang menganggap kehadiran anak menjadi rintangan sehingga menjadi rintangan tersendiri tersendiri.

Kepala BKKBN Dr. (H.C) Hasto Wardoyo pernah mengingatkan, dampak childfree tentu akan berpengaruh pada struktur penduduk di suatu negara. Kondisi tersebut juga berdampak pada rasio ketergantungan atau rasio beban tanggungan (dependency ratio) yakni angka yang menyatakan perbandingan antara banyaknya penduduk usia nonproduktif (penduduk di bawah 15 tahun dan penduduk di atas 65 tahun) dengan banyaknya penduduk usia produktif (penduduk usia 15-64 tahun).

Apabila semakin tinggi dependency ratio, menggambarkan semakin berat beban yang ditanggung oleh penduduk usia produktif. Hal ini karena harus mengeluarkan sebagian pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan penduduk usia non produktif, begitupun sebaliknya. Keadaan ini tentu saja dapat menjadi indikator maju atau tidaknya ekonomi suatu negara.

Hasto melanjutkan, apabila banyak pasangan memutuskan untuk tidak memiliki anak, maka akan berpengaruh pada jumlah penduduk usia non produktif (penduduk lansia) yang meningkat beberapa tahun kemudian, tentu hal ini juga menyebabkan tingginya rasio ketergantungan.

Halaman:

Editor: Milna Miana

Sumber: Penulis

Tags

Terkini

BPKH Siap Bantu Konversi Bank Nagari ke Syariah

Jumat, 9 Juni 2023 | 18:39 WIB
X